Hal ini sebagaimana keterangan dalam kitab Nihayatuz Zain karya Syaikh Nawawi al-Bantani.
وَيُسَنُّ أَنْ يَتَزَوَّجَ فِي شَوَّالٍ وَفِي صَفَرٍ لِأَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَزَوَّجَ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا فِي شَوَّالٍ وَزَوَّجَ ابنَتَهُ فَاطِمَةَ عَلِيًّا فِي شَهْرِ صَفَرٍ
“Dan sunnah pelaksanaan pernikahan pada bulan Syawal dan Shafar karena Rasulullah saw menikah dengan sayyidah Aisyah ra pada bulan Syawal, dan menikahkan putrinya sayyidah Fathimah ra pada bulan Shafar”. (Nawawi al-Bantani, Nihayatuz Zain, [Beirut: Dar al-Fikr, tt], h. 200)
Selanjutnya, soal menikahkan dua anak dalam tahun yang sama lebih merupakan sesuatu yang terkait dengan tradisi dan adat istiadat.
Baca Juga:Bupati Indramayu Lantik 1.753 PPPK, Minta Buktikan Komitmen Kinerja yang BaikDiduga Gelapkan Uang Tabungan Siswa, Wali Murid Laporkan Mantan Kepala Sekolah ke Polresta Cirebon
Pendekatan yang paling mudah untuk memahami larangan tersebut adalah dengan menggunakan pendekatan ekonomi.
Pada umumnya, ketika orang tua menikahkan anak akan mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk resepsi pernikahan tersebut.
Jika kemudian di tahun yang sama menikahkan anaknya yang kedua tentunya ini akan membebani mereka.
Beban menikahan anak pertama belum selesai, tiba-tiba muncul beban baru.
Dengan demikian, hukum menikahkan anak di tahun yang sama pada dasarnya boleh.
Hanya saja persoalan ekonomi juga perlu dipertimbangan agar di kemudian hari tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.
Semoga penjelasan ini membawa pencerahan bagi kita semua. Wallahu a’lam. (*/dikutip dari Tim Layanan Syariah, Ditjen Bimas Islam)