RADARCIREBON.ID- Dalam sejumlah kasus kehidupan rumah tangga, ditemukan suami bepergian atau merantau mencari nafkah dan meninggalkan keluarga dalam waktu yang cukup lama.
Pada sejumlah kejadian, saat suami pergi, sang istri kemudian kehilangan kabar hingga bertahun-tahun lamanya.
Ini kemudian menimbulkan pertanyaan, misalnya, bagaimana hukumnya menikahi perempuan tersebut?
Dalam Fiqih, suami yang pergi hingga tidak diketahui keberadaannya dalam waktu yang cukup lama dikenal dengan istilah mafqûd.
Baca Juga:Kenalin Nih, Pemain 17 Tahun Barcelona Pau Cubarsi, Langsung Man of The Match di Liga ChampionsBupati Indramayu Lantik 1.753 PPPK, Minta Buktikan Komitmen Kinerja yang Baik
Hilangnya kabar keberadaan suami dapat disebabkan pergi tanpa kabar, menjadi korban bencana yang jasadnya tidak ditemukan, dan lain sebagainya.
Dalam kondisi seperti itu, terdapat dua pendapat dari kalangan ulama.
Pendapat pertama, si perempuan harus menunggu hingga diyakini ikatan pernikahannya dengan si suami telah terputus.
Terputus itu baik karena kematian suaminya, telah ditalak suaminya, atau sejenisnya. Kemudian ia telah menjalani masa iddahnya.
Hal ini mengingat hukum asal dalam kasus tersebut adalah si suami masih hidup dan status pernikahannya masih berlaku secara menyakinkan sehingga tidak dapat dianggap batal kecuali secara meyakinkan pula.
Demikian pendapat Imam As-Syafi’i dalam qaul jadîd.
قوله (وَمَنْ غَابَ) بِسَفَرٍ أَوْ غَيْرِهِ (وَانْقَطَعَ خَبَرُهُ لَيْسَ لِزَوْجَتِهِ نِكَاحٌ حَتَّى يُتَيَقَّنَ) أَيْ يُظَنَّ بِحُجَّةٍ كَاسْتِفَاضَةٍ وَحُكْمٍ بِمَوْتِهِ (مَوْتُهُ أَوْ طَلَاقُهُ) أَوْ نَحْوُهُمَا كَرِدَّتِهِ قَبْلَ الْوَطْءِ أَوْ بَعْدَهُ بِشَرْطِهِ ثُمَّ تَعْتَدُّ لِأَنَّ الْأَصْلَ بَقَاءُ الْحَيَاةِ وَالنِّكَاحِ مَعَ ثُبُوتِهِ بِيَقِينٍ فَلَمْ يَزُلْ إلَّا بِهِ أَوْ بِمَا أُلْحِقَ بِهِ
“(Suami yang menghilang) karena pergi atau sebab lain (dan terputus beritanya, maka istrinya tidak boleh menikah lagi sampai diyakini) yakni diduga kuat berdasarkan hujjah, seperti berita luas atau dinyatakan mati secara hukum (kematian atau talaknya) atau semisalnya, seperti murtadnya sebelum atau sesudah terjadi persetubuhan dengan syaratnya, kemudian si istri menjalani iddah.
Baca Juga:Diduga Gelapkan Uang Tabungan Siswa, Wali Murid Laporkan Mantan Kepala Sekolah ke Polresta Cirebon Sulap Lahan Kosong, DPRD Kabupaten Cirebon Hadirkan Taman Terbuka yang Menyegarkan
Sebab, hukum asalnya adalah si suami masih hidup dan pernikahan tetap sah secara yakin sehingga hal ini tidak bisa hilang kecuali dengan berita yang yakin pula atau yang disamakan dengannya,” (Ibnu Hajar Al-Haitami, Tuhfatul Muhtâj pada Hawâsyais Syarwani wal ‘Abbâdi, [Beirut, Dârul Kutub Al-‘Ilmiyah: 1996], cetakan pertama, Jilid X, halaman 456).
Pendapat kedua, si perempuan harus menunggu sampai lewat masa empat tahun qamariyyah dan kemudian melakukan iddah selama 4 bulan 10 hari.