RADARCIREBON.ID – Suriname di Amerika Selatan dikenal dengan penduduk yang fasih menggunakan Bahasa Jawa.
Di tanah perantauan ini, 18.000 kilometer jauhnya, warga dari berbagao daerah di Pulau Jawa diberangkatkan mengarungi samudera.
Lebih dari 30 ribu orang dari Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur dikirim ke Paramaribo, Suriname.
Baca Juga:Caleg Gagal Dapil SMS Jadi Dalang Pembunuhan Berencana, Cuma Dapat 226 SuaraCaleg Dapil Majalengka, Sumedang, Subang Jadi Otak Pembunuhan Berencana di Bogor, Mobil Mogok di Kuningan
Termasuk ada 30 orang dari Kabupaten Kuningan yang melakukan perjalanan via Pelabuhan Tanjung Priok.
Salah satu pelaku perjalanan tersebut adalah Anta, dari kampung halamannya di Desa Giboeg, Kabupaten Kuningan.
Pemuda yang ketika itu berusia 23 tahun, mengarungi lautan dengan Kapal Samarinda. Mereka sempat singgah di Belanda, lalu melanjutkan perjalanan ke Suriname.
Anta berangkat pada 27 Juli 1925 dan tiba 3 bulan kemudian. Dia bekerja mulai 13, September 1925 sampai dengan 13, September 1930.
Mengutip Buku Kabar Tersiar Dari Lereng Ciremai hingga Bukit Walisongo yang ditulis Tedi Kholiludin, dikisahkan bahwa Anta kemudian menikah dengan wanita dari Semarang.
Pasangan ini kemudian mengasuh 3 anak yakni, Paula Djoemarin, Miskan dan Elly Ngadina.
Ketiga anak tersebut adalah anak-anak dari Mbok Nari, perempuan dari Blarak, Purworedjo.
Baca Juga:
Anta kemudian membesarkan anak-anak dari Mbok Nari itu. Mereka lahir di berbagai negara.
Dua anak Nari lahir di Johannesburg, yakni Paula Djoemarin dan Ngaidin, Miskan lahir di Suriname dan Elly Ngadina di Waterland.
Namun, Anta ternyata tidak kembali ke kampung halamannya di Kabupaten Kuningan. Dia diduga menetap di Suriname.
Kehadiran buruh kontrak dari Pulau Jawa ini, memang mewarnai ragam etnis yang kini menjadi warga di Suriname, Amerika Selatan.
Diantara mereka fasih berbahasa Jawa, meski ternyata ada juga yang berasal dari Jawa Barat hingga Kabupaten Kuningan yang sehari-harinya menggunakan Bahasa Sunda.
Akhir abad 19, pemerintah kolonial Belanda menerapkan kebijakan pengiriman buruh ke Suriname (disebut juga Guyana Belanda), salah satu wilayah koloni mereka di AmerikaSelatan yang berbatasan dengan Guyana Perancis dan Guyana.
Kebijakan tersebut dikeluarkan karena kontrak para buruh dari asal Afrika telah habis. Mereka dibebaskan pada 1863 sebagai komitmennya untuk menghapuskan perbudakan.
Imbasnya, perekonomian Suriname menurun karena tidak ada yang menggarap perkebunan.