Isu Perselingkuhan dan Warganet

ilustrasi
freepik
0 Komentar

Oleh: Andrian Saba*

DI tengah derasnya informasi digital, satu jenis berita yang selalu mampu memecah gelombang dan menenggelamkan isu-isu lainnya adalah isu perselingkuhan. Apalagi jika pelakunya seorang tokoh publik.

Berita akan cepat naik, susah meredup, dan ramai dibicarakan di media sosial. Bahkan, oleh netizen atau warganet yang sebelumnya tak pernah tertarik pada berita ini, ujungnya akan mengikuti.

Tapi pertanyaannya, mengapa isu perselingkuhan begitu cepat viral? Apakah karena kita haus akan drama? Atau karena kita diam-diam merasa punya hak ikut campur dalam urusan hati orang lain, terutama jika mereka terkenal?

Baca Juga:Pemkab Indramayu Gelontorkan Bantuan Rp1 Miliar untuk Operasional Ibadah HajiKabupaten Kuningan Berpotensi Jadi Industri Pertanian, Bagaimana Caranya?

Secara psikologis, manusia memang punya kecenderungan alami terhadap cerita. Dan cerita yang paling disukai ialah cerita yang mengandung unsur konflik, rahasia, dan hubungan tersembunyi. Perselingkuhan menawarkan ketiganya dalam satu paket.

Isu perselingkuhan bagai makanan ringan yang tak pernah basi. Dramanya nyata. Toksiknya terasa. Publik akan bertanya-tanya. Siapa yang selingkuh? Siapa yang disakiti? Siapa pihak ketiganya?

Otak manusia akan merespons seperti menonton sinetron. Warganet akan mencari berita lebih dalam. Dari para tokoh, alur, konflik, hingga menanti beberapa episode isu yang berkembang. Sebuah daya tarik drama dalam kehidupan nyata.

Isu perselingkuhan menawarkan perasaan terkhianati, permainan rahasia, dan narasi cinta terlarang. Apalagi jika dibalut dengan nama besar, reputasi yang sedang di puncak, atau tokoh yang sebelumnya dikenal “bersih”.

Tokoh publik dianggap memiliki standar moral yang lebih tinggi oleh masyarakat. Ketika mereka tergelincir dalam isu seperti ini, publik bereaksi lebih keras. Ada semacam sensasi melihat raja jatuh dari singgasana. Bagi sebagian, ini memuaskan. Bagi sebagian lain, ini menyedihkan. Tapi bagi internet? Ini viral.

Di sinilah letak dilemanya. Ketika seseorang menjadi publik figur, kehidupan pribadinya dianggap milik umum. Padahal, tidak ada satu kontrak pun yang menyatakan bahwa popularitas berarti membuka pintu rumah dan hati selebar-lebarnya untuk opini publik.

Namun, realitanya, kerapuhan hubungan asmara lebih menjual dibanding pencapaian prestasi seseorang. Program kerja atau kegiatan kemanusiaan yang telah berhasil diwujudkan bisa tenggelam oleh gosip cinta segitiga. Inilah sebuah ironi.

0 Komentar