Bagi saya, di titik ini, Pak Kiai tidak sedang main-main. Ia sedang menanam benih kesadaran bahwa dunia ini tidak cuma harus dihadapi, tapi juga dimaknai. Dan tafsir, dalam pengertian paling dasarnya, adalah kemampuan membacakan makna dari sesuatu yang tampaknya tidak bermakna atau bahkan dari sesuatu yang awalnya tampak menjijikkan. Tahi ayam, dalam tafsir Pak Kiai, bukan sekadar kotoran. Ia bisa berubah menjadi ladang pelajaran tentang sabar, tentang rendah hati, bahkan tentang kecemerlangan berpikir.
Saya coba membuat sedikit analogi. Apabila dunia adalah teks raksasa, maka setiap realitas di hadapan kita semua adalah frasa yang menunggu untuk (terus) dibaca ulang. Tahi ayam, yang diucapkan oleh Pak Kiai, adalah frasa kecil yang tampak sepele dan realitasnya kerap dihindari. Padahal, di situlah letak kebijaksanaan tersembunyi. Siapa yang bisa membaca makna dari sesuatu yang tampak hina, ia sedang menyentuh kebijaksanaan yang sejati.
Sebaliknya, siapa pun yang hanya melihat kenyataan sebatas apa yang tampak, akan hidup dalam jebakan reaksi yang spontan dan dangkal. Ia jijik, lalu marah, dan selesai. Padahal, dalam hidup, tak semua hal bisa disikapi dengan buru-buru.
Baca Juga:SMKN 1 Balongan Sukses Gelar Uji Kompetensi SiswaGerakan Buang Sampah Wujudkan Majalengka Bersih dan Sehat
Banyak hal justru menuntut kita duduk sejenak, lalu bertanya: “Apa maknanya?” Dan dari situlah, perlahan-lahan dari kisah Tahi Ayam yang dituturkan oleh Pak Kiai, kita mungkin sedang diajak belajar jadi dewasa dalam berpikir. Tafsir bukan hanya urusan bahasa atau kitab. Tafsir adalah seni membaca hidup dengan mata batin yang lebih dalam. Dan kadang, seperti yang diajarkan Pak Kiai, jalan masuk ke kedalaman itu justru lewat sesuatu yang seremeh tahi ayam.
PSIKOLOGI KEPEGAWAIAN
Jika dalam kisah yang dituturkan Pak Kiai kita belajar tentang pentingnya tafsir atas realitas yang tampak menjijikkan, maka dalam dunia kepegawaian pun, pelajaran itu relevan. Tidak semua yang tampak buruk dalam sistem birokrasi benar-benar buruk. Kadang, apa yang kita persepsikan buruk, hanyalah hasil tafsir yang terburu-buru—tafsir yang miskin empati dan malas menggali.