Tafsir Sosial Tahi Ayam dan Psikologi Kepegawaian

ilustrasi
Ilustrasi. Foto: Istimewa.
0 Komentar

Mereka tidak peduli siapa penyebabnya, yang penting kekesalan harus segera punya sasaran, enntah itu sistem, komputer yang error, atau hal lain yang penting bisa jadi kambing hitam. Rotter (1966) menyebut ini sebagai external locus of control—keyakinan bahwa semua masalah selalu datang dari luar, dan kita tidak punya kuasa apa-apa selain mengeluh dan marah.

Namun, selalu ada satu jenis pegawai yang ketika melihat masalah, ia tidak tergesa, tidak langsung menyalahkan, dan tidak juga mengumpat. Ia menarik napas, melihat keadaan, lalu bergerak perlahan menyelesaikan semampunya (ingat kembali takmir masjid yang langsung membersihkan tahi ayam) tanpa panggung dan tanpa gembar-gembor. Orang seperti ini langka, tetapi selalu jadi penentu.

Jenis pegawai seperti itu tentu bukan individu yang tanpa emosi. Namun, ia justru sudah berdamai dengan emosinya. Ia tidak lagi sibuk menjaga nama baik pribadi karena yang lebih penting baginya adalah martabat kolektif. Jenis pegawai seperti ini memiliki apa yang disebut Daniel Goleman (2002) sebagai emotional intelligence—kemampuan mengenali perasaan sendiri, dan tetap bersikap jernih di tengah kekacauan.

Baca Juga:SMKN 1 Balongan Sukses Gelar Uji Kompetensi SiswaGerakan Buang Sampah Wujudkan Majalengka Bersih dan Sehat

Dalam organisasi, tipe pegawai seperti inilah yang sebenarnya jadi pemimpin sejati. Bukan karena jabatannya, tapi karena kehadirannya menenangkan. Ia membawa keteladanan, bukan instruksi. Ia membersihkan lantai yang kotor, tanpa sibuk bertanya siapa yang mengotori.

Model pegawai seperti ini juga sejalan dengan konsep servant leadership dari Robert Greenleaf (1977): kepemimpinan yang tidak dimulai dari kehendak berkuasa, melainkan dari dorongan untuk melayani. Dan melayani, dalam konteks ini, bukan berarti tunduk atau pasrah. Justru sebaliknya—ia berarti hadir dengan kesadaran utuh bahwa bekerja itu bagian dari merawat. Kadang saya berpikir, kalau semua kantor punya satu saja orang seperti itu, maka masalah-masalah kecil tidak akan jadi bara. Sebab mereka yang punya kesadaran akan bergerak lebih dulu, bahkan ketika yang lain masih marah-marah.

Namun, di sisi yang lain, kita juga hidup dalam kultur birokrasi (secara umum) yang terlalu sering memelihara amarah dan rasa tersinggung sebagai nilai sosial. Bahkan kadang, makin mudah seseorang tersinggung, makin tinggi derajatnya di mata kolega. Ketika ada kesalahan, kita segera membentuk tim ad hoc; kalau bisa, bikin berita acara; kalau perlu, panggil pihak yang berwenang. Semua prosedur dikerahkan bukan untuk menyembuhkan, tetapi untuk mengukuhkan siapa benar siapa salah.

0 Komentar