Warijan membalas dengan lembut, “Duh, Mbah… kula tugase namung neng bandara. Wis, tenang, Mbah. Mengko nang Makkah akeh kancane aku sing nemenin, Mbah. Ana wong Kebumen. Mbah bakal keprungu karo sedulur-sedulur,” kata Warijan.
Di tengah percakapan itu, cuaca Jeddah yang terik mulai terasa. Mbah Sumbuk tampak kehausan dan meminta air. “Aku pan ngombe, Le,” pintanya pelan.
Petugas segera membantu memberinya air dan memastikan ia nyaman.
Untuk perjalanan menuju Makkah, Mbah Sumbuk disiapkan bus khusus yang dilengkapi lift hidrolik. Kursi rodanya langsung diangkat ke dalam bus tanpa perlu dipindahkan, memastikan kenyamanan dan keselamatannya.
Baca Juga:Pakai Skema Pendanaan Penuh, Simak Program Beasiswa untuk Mahasiswa Hasil Kolaborasi Kemenag, Baznas, dan LAZMenjamurnya Pelari di Cirebon Buka Potensi Baru bagi Para Fotografer
Semuanya dilakukan dengan penuh kehormatan—layaknya tamu agung yang ditunggu-tunggu. Mbah Sumbuk bukan sekadar jamaah sepuh. Ia adalah simbol dari kekuatan niat, panjangnya harapan, dan dalamnya cinta kepada Allah.
Di usia yang senja, ia datang memenuhi panggilan suci dengan jiwa yang utuh dan hati yang bersih.
Semoga Allah memudahkan seluruh ibadah hajinya dan menjadikan langkahnya yang perlahan itu sebagai jejak yang abadi dalam sejarah haji Indonesia—bahwa cinta dan ketulusan selalu menemukan jalannya, meski harus menunggu seabad lamanya. (*)