Setelah Wonokitri, Lanjut Jemplang

yanto s utomo bromo kom
Dokumentasi gowes Yanto S Utomo di Bromo KOM dan Malang. Foto: istimewa - radarcirebon.id
0 Komentar

Lumayan, walau naik kelas, bisa finish lebih cepat dibandingkan dengan tahun lalu. Dengan rekor KOM 2 jam 30 menit nonstop. Walaupun hanya finish di urutan ke-16 di kelompok umur tersebut dari sekitar 70-an finisher. Padahal targetnya hanya bisa lolos dari cut off time (COT) saja.

Rampung Bromo KOM, saya dengan William dan Yoren Gunawan dari Kadal Cycling Club Cirebon, langsung ke Malang. Baru pada Minggu 18 Mei, kami mendaki ke puncak Bromo dari sisi yang berbeda. Dari rute Kota Malang menuju ke puncak Jemplang.

Puncak Jemplang tersebut jaraknya sangat dekat. Hanya sekitar 40 km dari hotel kami menginap. Walau reletif pendek, namun elevasi again-nya mendekati 2000 meter. Tepatnya 1996 meter.

Baca Juga:Usul Radar Cirebon untuk Gubernur KDM yang Mau Menata Jalan dari Exit Ciperna ke Gedung NegaraJatuh Bangun Kopi Gunung Ciremai, Berjaya Pada Masa Tanam Paksa, Jatuh Ketika Berganti Rezim

Menurut saya, rute Jemplang ini lebih pedih dan menyiksa dibandingkan jalur Wonokitri. Rute ini pun sangat komplit. Saya harus bersepeda on saddle dan off saddle.

Tapi yang saya maksud off saddle adalah bersepeda tidak di atas sadel alias nuntun. Terutama di tanjakan dengan kemiringan yang tidak masuk akal, terpaksa menggunakan jurus “Matador”. Alias “manjing tanjakan dorong”.

Saya tidak sempat menghitung berapa persen rata-rata kemiringan. Hanya yang pasti kemiringannya tidak masuk akal bagi para penghobi sepeda.

Selain itu sangat panjang. Perasaan saya tanjakan tidak selesai-selesai. Menjelang puncak Jemplang pun, masih merasakan kemiringan yang di atas 20 persen.

Ditambah, sisi Bromo rute Jemplang ini seringkali jalannya tidak lebar. Bila berpapapasan dengan kendaraan roda empat, di beberapa tempat, terpaksa harus berhenti.

Apalagi setelah Jarak Ijo. Kondisi jalan yang begitu sempit ditambah kemiringan yang tak masuk akal, saya memilih pakai jurus Matador.

Di jalur itu, saya sangat yakin tidak cukup kuat bersepeda nanjak dengan lurus. Bila zig-zag, dikhawatirkan mengganggu pengendara lain.

Baca Juga:Naik Kelas, Kopi Terbaik Gunung Ciremai Mendunia, Hadir di International World of Coffee 2025Kemajuan Peradaban Kerajaan Pajajaran Prabu Siliwangi, Terekam Kesaksian Portugis

Walau pedih, rute Jemplang memang asyik. Setelah bersepeda dari bawah, kami sampai dan berisitirahat sebentar di Coban Pelangi. Coban itu kalau di Jawa Barat disebut curug.

Di tempat ini ada warung makan yang terakhir sebelum naik. Saya sempat makan kue dan mengisi bidon.

0 Komentar