BEBERAPA hari lalu, Indonesia memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Hari Pendidikan Nasional diperingati setiap tanggal 2 Mei, yang merujuk pada tanggal kelahiran Ki Hadjar Dewantara (2 Mei 1889). Pengaruh dan kontribusi Ki Hadjar Dewantara dalam memperjuangkan pendidikan yang adil dan merata bagi seluruh rakyat Indonesia sangat besar.
Namun, seperti setiap tahunnya, peringatan Hardiknas di banyak tempat akan penuh dengan selebrasi seremonial, pidato, penampilan kreasi peserta didik, atau penyerahan lembaran-lembaran piagam penghargaan.
Di waktu yang bersamaan, adakah kita sebagai anak bangsa Indonesia pernah jujur memaknai secara mendalam ihwal Pendidikan yang hakiki atau kita justru terjebak pada pemaknaan bahwa pendidikan di Indonesia hanya sekadar ritual tahunan.
Baca Juga:Patung Rajawali Raksasa di Desa Cipaat Indramayu Jadi Sorotan di Medsos, Ternyata Segini BiayanyaForkopimcam Jatibarang Indramayu Turun Tangan, Tertibkan Aturan Retribusi di Pasar Sandang Jatibarang
Alih-alih meresapi dan merenungkan kontribusi besar Ki Hadjar Dewantara dalam membangun pendidikan yang merdeka, banyak yang terjebak dalam perayaan simbolis, seperti upacara dan pidato, tanpa menindaklanjuti dengan perbaikan nyata dalam sistem pendidikan.
Pada kenyataannya, tantangan pendidikan Indonesia masih sangat besar—mulai dari kesenjangan akses pendidikan, kualitas pengajaran yang bervariasi, hingga ketimpangan dalam fasilitas dan sumber daya. Dengan hanya merayakan tanggal itu tanpa memperhatikan substansi dan urgensi perbaikan pendidikan yang berkelanjutan, kita justru mengabaikan semangat yang dibawa oleh Ki Hadjar Dewantara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
KI HADJAR MENGAJARKAN “MARAH”
Ya, marah adalah ajaran Ki Hadjar Dewantara. Kemarahan sering kali dianggap sebagai emosi yang destruktif, bahkan mengancam tatanan sosial yang ada. Namun, ada satu bentuk kemarahan yang diajarkan dengan sangat baik oleh Ki Hadjar, yaitu kemarahan yang disalurkan dengan penuh kontrol dan kesadaran, yang justru menghasilkan perubahan positif dan berkelanjutan.
Salah satu contoh paling jelas dari praktik marah ini adalah tulisan Ki Hadjar Dewantara yang berjudul “Andai Aku Seorang Belanda” (Als ik een Nederlander was’). Ditulis pada tahun 1913 dan diterbitkan di surat kabar De Express, tulisan ini adalah contoh bagaimana kemarahan yang terarah bisa menjadi sarana perjuangan yang konstruktif, tidak hanya untuk mengkritik tetapi juga untuk membangun sebuah kesadaran kolektif yang mengarah pada perubahan sosial.