“Marah”; Ajaran Ki Hadjar Dewantara yang Luput Dipraktikkan

Ilustrasi
Ilustrasi. Foto: Istimewa.
0 Komentar

KEMARAHAN DAN PENCERAHAN SOSIAL

Salah satu aspek paling menarik dari tulisan Ki Hadjar adalah bagaimana kemarahan dapat dikonseptualisasikan sebagai proses pendidikan dan pemberdayaan masyarakat. Tanpa berteori secara rumit dan berlama-lama berkhotbah, Ki Hadjar telah mempraktikkan bahwa pendidikan adalah alat untuk membentuk kesadaran kritis masyarakat, dan inilah yang dilakukannya dalam tulisan yang membuat gerah Pemerintah Kolonial.

Ki Hadjar dengan fasih menggunakan kata-kata sebagai alat untuk membentuk kesadaran tentang ketidakadilan kolonial, yang bukan hanya menindas fisik, tetapi juga merusak budaya, identitas, dan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia. Pada titik ini, seharusnya sudah tergambar mengapa “Andai Aku Seorang Belanda” menjadi produk literasi yang istimewa. Ya, karena narasi yang disusun mampu membangkitkan rasa marah yang produktif.

Marah, dalam pengertian ini, bukan hanya sekadar pelampiasan emosi, tetapi sebuah panggilan untuk bertindak secara bijaksana. Ki Hadjar menunjukkan dirinya yang linuwih yang tidak hanya mengungkapkan kemarahan terhadap penjajahan, tetapi juga mengajarkan pembaca bagaimana menanggapi ketidakadilan dengan cara yang konstruktif. Kesadaran itu dimulai dari kesadaran individu tercerahkan, seperti Ki Hadjar.

Baca Juga:Patung Rajawali Raksasa di Desa Cipaat Indramayu Jadi Sorotan di Medsos, Ternyata Segini BiayanyaForkopimcam Jatibarang Indramayu Turun Tangan, Tertibkan Aturan Retribusi di Pasar Sandang Jatibarang

Tentu jenis kritik yang dilakukan oleh Ki Hadjar seolah terkonfirmasi melalui apa yang Herbert Marcuse dalam bukunya berjudul One-Dimensional Man (1964) yang mengungkapkan bahwa kritik terhadap struktur dominasi yang ada harus dimulai dengan kesadaran individu. Dengan cara ini, tulisan Ki Hadjar telah menjadi panggilan untuk introspeksi kolektif—untuk merenungkan bagaimana rakyat Indonesia bisa memperbaiki nasib mereka di bawah belenggu penjajahan.

Dari Ki Hadjar, kita dapat melihat secara nyata bahwa marah bisa menjadi titik mula dari pencerahan, bukan hanya bagi penulisnya, tapi juga bagi khalayak yang lebih luas. Dalam narasi Ki Hadjar, marah bukan sekadar emosi, tapi bentuk intelektual dari penolakan atas ketidakadilan.

Seperti disinggung oleh Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed, kemarahan yang lahir dari kesadaran bisa menjadi bahan bakar emansipasi. Ki Hadjar, bahkan jauh sebelum Freire, telah memperagakan tesis itu: ia mengubah kemarahan menjadi pengetahuan, menjadi pembebasan.

0 Komentar