Membunyikan dan Menyembunyikan Kekuasaan

Ilustrasi
Ilustrasi. Foto: Istimewa.
0 Komentar

Oleh: Syarifuddin*

SEORANG teman suatu ketika bercerita pengalamannya ketika dulu (sebagai mahasiswa) harus mengikuti rapat besar himpunan. Dalam rapat tersebut, sang pemimpin rapat (tentu saja seorang senior) berujar banyak kalimat yang membuat teman saya itu agak terganggu.

“Dulu, waktu saya jadi … (menyebut nama sebuah jabatan), saya bisa bikin ini itu dan berhasil,” kata sang senior. “Tapi, situasinya sekarang berbeda, Kang.” teman saya menimpali. “Sama saja. Kalau dulu bisa, ya sekarang juga pasti bisa.” tegas sang senior.

Teman saya bercerita banyak ihwal ragam ujaran yang terjadi selama rapat berlangsung. Beberapa lama saya terdiam dan mencoba memahami ragam ujaran yang mengganggu benak teman saya itu. Hingga akhirnya saya datang pada kesimpulan bahwa ujaran-ujaran sang atasan yang mengganggu benak teman saya itu dapat dikategorikan sebagai ‘jebakan bahasa’.

Baca Juga:Futsal Igornas Kabupaten Cirebon Resmi Dimulai, Segini Jumlah PesertanyaRumor Jose Mourinho Latih Timnas Portugal, Berikut Faktanya!

Dalam diskusi linguistik, jebakan bahasa memang kerap digunakan oleh kelompok dominan (pihak yang merasa memiliki kuasa lebih besar) untuk membenamkan kelompok subdominan dalam kerendahdirian yang akut, antara lain stigma, penyimpangan makna, dan kata bertaksa.

Hal tersebut menjadi dasar penulisan esai ini. Tentu saja, bukan untuk menyalahkan satu atau dua strategi komunikasi, tetapi semata untuk menunjukkan betapa kayanya wacana komunikasi dalam ranah konsep dan praktik, apalagi dalam gaya komunikasi politik-kekuasaan.

MELAMPAUI YANG TERUCAP

Seorang tokoh besar bernama Peter F. Drucker, yang dijuluki “The Father of Modern Management,” pernah melontarkan kalimat yang terus menggema dalam ruang-ruang pemikiran tentang komunikasi: “The most important thing in communication is hearing what isn’t said.”

Hal paling penting dalam komunikasi, katanya, adalah mendengarkan apa yang tidak diucapkan. Sebuah nasihat yang, meski sepintas terdengar sederhana, menyimpan kedalaman makna yang luar biasa. Dalam dunia yang makin gaduh oleh kata-kata, kita justru diajak untuk memberi perhatian pada senyap. Dalam era di mana setiap orang berusaha keras untuk didengar, Drucker mengingatkan kita akan pentingnya mendengar yang tak terdengar.

0 Komentar