Membunyikan dan Menyembunyikan Kekuasaan

Ilustrasi
Ilustrasi. Foto: Istimewa.
0 Komentar

Ucapan ini membuka jendela pemahaman bahwa komunikasi tidak semata-mata soal ujaran, bukan melulu perkara apa yang terucap di mulut pembicara. Komunikasi sejatinya adalah jaringan makna yang dijalin oleh kata-kata, nada suara, intonasi, gestur, jeda, bahkan diam itu sendiri. Apa yang tidak dikatakan sering kali lebih berpengaruh ketimbang yang terang-terangan disampaikan. Sebuah alis yang terangkat, sebuah tarikan napas yang tertahan, atau pandangan mata yang berbelok tiba-tiba—semuanya adalah tanda.

Tanda-tanda inilah yang membentuk semiotika sunyi yang sayangnya sering luput dari pembacaan kita yang terburu-buru. Dalam konteks kekuasaan, “yang tak dikatakan” ini bahkan lebih mendebarkan. Di balik sebuah pernyataan “kita sudah kaji secara matang,” bisa tersembunyi seribu ketidakterbukaan metodologis. Di balik frasa “masyarakat sudah dilibatkan” bisa terselip absennya suara-suara minoritas yang tak pernah diundang ke ruang partisipasi.

Maka, komunikasi tidak netral. Komunikasi adalah medan tarik-menarik antara siapa yang bisa mengatakan dan siapa yang hanya bisa diam; antara yang memiliki hak untuk memaknai dan yang sekadar dimaknai.

Baca Juga:Futsal Igornas Kabupaten Cirebon Resmi Dimulai, Segini Jumlah PesertanyaRumor Jose Mourinho Latih Timnas Portugal, Berikut Faktanya!

Itulah sebabnya, kesadaran akan komunikasi tidak cukup berhenti pada keterampilan berbicara atau menulis. Hal tersebut harus diperluas menjadi kesadaran hermeneutik—kesadaran menafsirkan. Kita harus menyadari bahwa setiap peristiwa komunikasi menyimpan celah interpretasi, menyimpan lapisan-lapisan yang perlu dikupas satu demi satu.

Maka, seseorang yang hendak menjadi komunikator yang baik tak cukup hanya fasih, tapi juga peka. Tak cukup hanya tahu berkata-kata, tapi juga tahu kapan harus membaca yang tak terlihat dan mendengar yang tak terdengar.

Dalam bahasa filsuf Paul Ricoeur, komunikasi bukan sekadar transmisi informasi, tapi sebuah peristiwa pemahaman. Ada proses pembentukan makna yang terus bergerak, dan tidak selalu hadir secara eksplisit. Kata-kata yang diucapkan hanya sebagian kecil dari bangunan makna yang kompleks. Sisanya tersebar dalam konteks sosial, dalam sejarah pribadi pembicara dan pendengar, dalam kekuasaan simbolik yang mengikat struktur wacana.

Karena itu, dalam ruang-ruang komunikasi publik—baik itu ruang birokrasi, ruang media, maupun ruang pergaulan sosial sehari-hari—kita harus mulai memberi ruang pada keterampilan yang lebih halus: kepekaan terhadap yang tersirat. Jangan buru-buru mengambil kesimpulan dari apa yang dikatakan. Lihatlah juga siapa yang sedang tidak bicara, siapa yang sedang menunduk, siapa yang berulang kali mencoba menyela tapi tak pernah didengar. Mungkin di sanalah letak kebenaran yang paling jujur, yang selama ini terkurung dalam keheningan.

0 Komentar