Membunyikan dan Menyembunyikan Kekuasaan

Ilustrasi
Ilustrasi. Foto: Istimewa.
0 Komentar

Sebagaimana kita tahu, tidak semua keheningan itu kosong. Ada keheningan yang bising oleh perlawanan batin. Ada diam yang justru berteriak karena terbungkam. Maka, memahami komunikasi adalah juga memahami distribusi kuasa atas suara. Dan kadang, keadilan komunikasi bukan terletak pada siapa yang paling banyak bicara, tetapi pada siapa yang paling sedikit diberi kesempatan untuk didengarkan.

KETIMPANGAN DALAM AKSES BICARA

Dalam struktur komunikasi kekuasaan, tidak semua orang memiliki hak bicara yang setara, bahkan dalam ruang yang tampak demokratis seperti rapat. Siapa yang berbicara paling awal, paling keras, dan paling sering, sering kali diasosiasikan sebagai “pemilik wacana”. Di sinilah kita menjumpai konsep powerful speech versus powerless speech. Yang pertama adalah ucapan yang sarat keyakinan, naratif heroik, dan absolutisme pengalaman, sedangkan yang kedua biasanya dibungkam sebelum berkembang.

Teman saya, yang mencoba memberi pandangan alternatif dengan menyebut “situasi sekarang berbeda,” langsung ditebas oleh generalisasi masa lalu. Hak untuk menyampaikan pikiran alternatif sering kali dibenturkan pada romantisme kejayaan. Maka, ucapan sang senior tidak hanya menunjukkan kuasa, tapi juga menciptakan penundukan: subordinasi terhadap sejarah pribadi.

Baca Juga:Futsal Igornas Kabupaten Cirebon Resmi Dimulai, Segini Jumlah PesertanyaRumor Jose Mourinho Latih Timnas Portugal, Berikut Faktanya!

Ketimpangan ini bukan hanya lahir dari struktur jabatan, tetapi juga dipelihara oleh bahasa itu sendiri. Ada yang dibolehkan menjadi narator, dan ada yang cukup menjadi objek narasi.

Dalam diskursus publik, ini tercermin dalam praktik framing media, narasi pejabat publik, hingga konstitusi kebahasaan dalam forum-forum resmi. Bahasa akhirnya tidak netral. Ia bisa menjadi palu hakim sekaligus tirai yang menutupi beragam ide-ide baru.

Bahasa kekuasaan sering kali dibentuk dalam bentuk-bentuk kalimat yang seolah tak bisa dibantah. Kata-kata seperti “demi kepentingan bersama”, “demi stabilitas”, “demi kelancaran program strategis nasional” adalah contoh bagaimana kata-kata bisa membekukan nalar publik. Ketika frasa ini diucapkan, kritik dianggap tidak relevan, bahkan bisa dianggap ancaman.

Inilah yang disebut oleh banyak linguis sebagai frozen language – bahasa yang dimaknai tunggal dan tidak memberi ruang dialog. Praktik ini tidak lagi mengundang tafsir, melainkan memaksakan makna. Padahal, dalam kenyataannya, makna seharusnya lahir dari interaksi antara penutur dan pendengar, antara pembuat kebijakan dan masyarakat. Tapi kekuasaan, demi menjaga hegemoninya, kerap menjadikan bahasa sebagai pagar – bukan jembatan. Kata-kata yang seharusnya menjelaskan malah jadi alat untuk menutupi. Bahasa yang seharusnya memberi makna, justru menciptakan kekaburan.

0 Komentar