Michel Foucault mengingatkan kita bahwa kekuasaan modern tidak lagi bekerja lewat kekerasan langsung, melainkan melalui mekanisme wacana. Artinya, kuasa hari ini tak lagi melulu tampak dalam bentuk larangan atau represi fisik, tetapi dalam cara berpikir yang dianggap “normal”, “rasional”, dan “logis” oleh masyarakat.
Di sinilah bahasa memainkan peran sentral dalam menyembunyikan kekuasaan di balik legitimasi teknokratik. Misalnya, ketika seorang pejabat mengatakan, “ini sudah hasil kajian,” maka seolah tak ada ruang bagi publik untuk bertanya, “kajian siapa?”, “dengan pendekatan apa?”, “berdasarkan kepentingan siapa?” Bahasa semacam ini sering digunakan untuk meloloskan keputusan politik dengan baju saintifik, atau menyamarkan agenda ideologis di balik istilah administratif.
Kita pun menjadi terbiasa mendengar kalimat-kalimat seperti “optimalisasi aset”, “revitalisasi kawasan”, “perampingan birokrasi” – tanpa pernah tahu siapa yang paling dirugikan, siapa yang diuntungkan, dan mengapa istilah-istilah itu terdengar sangat rapi tetapi juga sangat jauh dari realitas hidup warga biasa.
Baca Juga:Futsal Igornas Kabupaten Cirebon Resmi Dimulai, Segini Jumlah PesertanyaRumor Jose Mourinho Latih Timnas Portugal, Berikut Faktanya!
Dalam dunia yang kata Yasraf Amir Piliang disebut sebagai “dunia yang dilipat”, relasi kuasa dan wacana pun mengalami kompresi. Yang seharusnya terbuka menjadi tertutup, yang seharusnya dibahas bersama malah dimonopoli oleh segelintir orang. Dalam dunia yang serba cepat dan kabur ini, penting bagi kita untuk mengasah kesadaran linguistik agar tidak menjadi korban jebakan bahasa kekuasaan.
Karena pada akhirnya, suara bukan hanya perkara volume, tetapi juga perkara siapa yang mengatur mikrofon dan siapa yang menentukan narasinya. (*)
*Penulis adalah Mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Administrasi Publik pada Sekolah Pascasarjana, Universitas Terbuka