Markesot: Arsitek Kesadaran Kaum Terpinggirkan

Emha Ainun Najib
Emha Ainun Najib. Foto: Istimewa.
0 Komentar

Tidak harus bisa dijelaskan ke siapa pun. Cukup dijalani dengan kesadaran, dan kalau bisa—dengan sedikit cinta. Di tengah masyarakat kita hari ini—yang mudah sekali patah semangat, mudah sekali sinis, mudah sekali saling mencurigai—Markesot datang membawa versi kewarasan yang tidak diajarkan di sekolah mana pun. Ia hadir sebagai absurditas yang tidak melelahkan, tetapi menghangatkan. Ia menghibur yang putus asa, bukan dengan janji, tetapi dengan pelukan batin yang sunyi.

Dan saya pikir, mungkin inilah yang membuat Mbah Nun, melalui Markesot, tetap relevan. Ia tidak menawarkan utopia. Ia tidak menyuruh kita lari dari dunia. Tetapi ia menyodorkan sebuah cara bertahan yang tidak menyakiti. Cara hidup yang tidak harus selalu menang, tetapi tetap bermakna. Markesot mengajak kita untuk tetap berjalan, meski jalannya aneh. Karena keanehan itu bukan kegagalan menjadi manusia. Tetapi mungkin, justru itu bentuk paling jujur dari menjadi manusia seutuhnya.

MBAH NUN: SUNYI YANG MELAHIRKAN HIKMAH

Di tengah zaman yang memuja suara keras, Mbah Nun memilih diam. Bukan karena tak punya yang hendak dikatakan, tetapi karena tahu: hikmah bukan perkara siapa bicara paling lantang, melainkan siapa yang paling mampu mendengarkan zaman dengan batin yang jernih. Ada yang mendekat ke pusat kuasa agar bisa menyisipkan bisikannya. Ada pula yang menjauh karena takut basah oleh lumpur. Namun, Mbah Nun berdiri di tempat yang tidak bisa dipetakan oleh strategi kekuasaan. Ia tidak menjilat, tidak pula menyumpahi. Ia menjaga jarak bukan demi kemurnian citra, tetapi demi kejernihan makna.

Baca Juga:Dukung Ketahanan Pangan Nasional, Desa di Indramayu Tanam Ribuan Pohon SukunIndramayu Sukses Jaga Ketahanan Pangan Nasional, Lucky Hakim – Syaefudin Dapat Penghargaan dari PWI Pusat

Yang ia tempuh bukan jalan sunyi karena putus asa, melainkan jalan sepi yang justru paling ramai oleh tanya. Jalan yang tidak dilintasi kamera, tidak dihiasi tepuk tangan. Ia tidak menampik media, tetapi juga tidak menyesuaikan diri dengan irama viral. Ia tidak melawan zaman, hanya enggan ikut gempitanya.

Yang dilakukan Mbah Nun bukan “menyampaikan pendapat”—itu terlalu kecil. Ia merawat nalar yang sepi, yang tidak sibuk meyakinkan orang, tetapi sibuk berdamai dengan ketidaktahuan. Ia menulis, tetapi tidak untuk membangun altar pemujaan. Ia bicara, tetapi tidak untuk memenangkan debat. Ia hadir, lalu pergi, tanpa perlu diumumkan. Karena apa yang ingin ia tinggalkan bukan kesan, melainkan pengaruh yang bekerja diam-diam dalam kesadaran.

0 Komentar