RADARCIREBON.ID- Longsor Gunung Kuda di Kecamatan Dukupuntang, Kabupaten Cirebon, berujung pada penahanan dua tersangka oleh Polresta Cirebon. Yakni Abdul Karim (59) dan Ade Rahman (35). Abdul Karim merupakan pemilik Koperasi Pondok Pesantren (Kopontren) Al Azhariyah dan Ade Rahman sebagai Kepala Teknik Tambang.
Tim hukum dari dua tersangka ini kembali buka suara terkait langkah kepolisian. Terbaru, disampaikan Ferry Ramadhan SH MH yang merupakan kuasa hukum Ade Rahman. Ia mengatakan terjadi kejanggalan dalam penetapan status hukum kliennya.
Menurut Ferry Ramadhan, tuduhan Ade Rahman yang lalai dalam menjalankan tugas sebagai Kepala Teknik Tambang atau KTT dan dianggap bertanggung jawab atas puluhan korban jiwa pada 30 Mei lalu, tidak tepat. Terlebih, kliennya sudah tidak menjabat sebagai KTT saat peristiwa terjadi.
Baca Juga:Jamaah Haji Indonesia Gelombang II Bergeser ke Madinah Mulai 18 Juni 2025Industri Batu Alam Cirebon Terdampak Penutupan Tambang, Pekerja Bakal Dirumahkan
“Masa jabatan AR (Ade Rahman) sebagai KTT hanya berlangsung dari 20 November 2021 hingga November 2022. Sementara berdasarkan aturan Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara tertanggal 18 Oktober 2021 menyatakan KTT sementara hanya berlaku 6 bulan dan dapat diperpanjang 1 kali untuk enam bulan berikutnya,” jelas Ferry saat konferensi pers, Rabu (18/6/3025).
Faktanya, kata Ferry, AR merupakan KTT sementara yang ditunjuk Kopontren Al Azhariyah, pemegang izin usaha pertambangan. Artinya, jika merujuk aturan ditjen mineral dan batubara, maka AR harusnya secara hukum tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana atas jabatan KTT.
“Menetapkan seseorang sebagai tersangka karena jabatan yang secara hukum sudah tidak diakui lagi adalah bentuk penegakan hukum yang prematur dan mencederai asas keadilan,” tegasnya.
Ferry juga mempertanyakan urgensi dan landasan objektif dari langkah Polresta Cirebon yang dinilai terburu-buru dalam menetapkan Ade Rahman sebagai tersangka. Menurutnya, proses penegakan hukum ini terkesan menyasar sosok yang paling mudah ditindak, alih-alih mengusut tuntas struktur operasional tambang saat kejadian.
“Harusnya Polresta Cirebon mendalami pada peristiwa 30 Mei 2025 itu siapa yang patut bertanggungjawab atas instruksi oprasional pertambangan kepada mandor atau operator alat berat, pengadaan alat berat, penjadwalan kerja, metode pertambangan yang diterapkan dan menjamin keselamatan di lapangan,” ujarnya.
“AR tidak punya kewenangan dalam hal-hal tersebut sejak masa jabatannya berakhir. Penetapan ini mengabaikan struktur tanggung jawab yang berlaku saat itu. Kami sedang mempertimbangkan untuk menempuh upaya hukum terhadap proses ini,” sambungnya.