Sementara itu, Sinta, istri tersangka Ade Rahman menegaskan bahwa suaminya telah mengajukan pengunduran diri sebelum lebaran idul Fitri 2025 lalu. Alasannya, menyadari tidak berkompeten di bidang pertambangan.
“Upaya pengunduran itu itu sudah empat kali. Terakhir itu sebelum lebaran Idul Fitri 2025. Tapi tidak pernah disetujui oleh Ketua Kopontren Al Azhariyah, tidak ada orang lagi. Kalau mundur, nanti kegiatan penambangan tidak bisa beroperasi. Berdasarkan cerita suami, dia itu dipaksa dan ditekan oleh yayasan untuk tetap menjadi KTT,” ungkapnya.
Menurutnya, setiap kali Ade Rahman berpendapat tidak pernah didengar oleh yayasan. Sementara, di lapangan semuanya telah diatur oleh mandor, yang notabene kepercayaan bosnya. “Harapan kami dapat dibebaskan. Karena tidak layak ditetapkan sebagai tersangka. Karena itu bukan perbuatan suami saya. Tapi suami saya justru yang ditetapkan sebagai tersangka,” kata ibu tiga anak itu.
Baca Juga:Jamaah Haji Indonesia Gelombang II Bergeser ke Madinah Mulai 18 Juni 2025Industri Batu Alam Cirebon Terdampak Penutupan Tambang, Pekerja Bakal Dirumahkan
Terpisah, Yudi Aliyudin SH selaku kuasa hukum Abdul Karim, juga blak-blakan mengenai siapa yang terlibat dalam memuluskan perizinan tambang di Gunung Kuda. Menurutnya, semua perizinan ditempuh secara prosedural. Melibatkan semua pejabat negara. Mulai DPMPTSP Jabar, ESDM Jabar, hingga Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
“Semuanya harus diperiksa tuh. Termasuk bupati dan gubernur. Apalagi gubenur mengakui ada kelalaian. Mereka semua mengeluarkan izin dan rekomendasi aktivitas tambang. Masa yang jadi tersangka dua orang. Yang salah satunya klien saya,” kata Yudi kepada Radar Cirebon, Selasa (17/6/2025).
Ia mengatakan material dari aktivitas tambang Gunung Kuda banyak digunakan untuk proyek-proyek nasional seperti Tol Palikanci, Pelabuhan Patimban, dan proyek-proyek lainnya. “Ketika terjadi insiden, pemerintah tidak mem-back up,” ungkapnya.
Menurutnya, yang paling utama dari aktivitas tambang Al Azhariyah itu tambang rakyat. Setiap hari ribuan orang mengandalkan sumber kehidupan di situ. Sementara, saat kejadian, kliennya dijerat dengan UU K3. Padahal, yang jadi korban bukan karyawan, Kopontren Al-Azhariyah, tapi masyarakat.
“Kalau kami larang, mereka protes. Nah ini yang tidak dipahami oleh pemerintah secara komprehensif. Kenapa sih tidak di-back up. Jangan rakyat yang disalahkan. Saat kejadian pemerintah jangan cuci tangan,” ungkapnya.