TAHUN 2024 dikenal dengan nama Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB), namun pada 2025 berubah menjadi Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB). Namun, perlu digaris bawahi bahwa perubahan nama tanpa perubahan substansi justru membingungkan masyarakat.
Bukankah lebih baik jika sistemnya yang diperbarui, bukan sekadar namanya? Sebut saja Google, Facebook, atau TikTok, meski terus mengembangkan fitur dan teknologinya, mereka tidak serta merta mengganti nama hanya demi kesan pembaruan.
Saya khawatir, dan semoga kekhawatiran ini tidak benar, bahwa pergantian nama ini dilatari ego politik: semacam hasrat untuk meninggalkan “legacy” pribadi, untuk menghapus legacy pemain sebelumnya, bukan untuk memperbaiki sistem. Jika benar demikian, maka ego seperti ini amat berbahaya bagi kesinambungan kebijakan publik, termasuk dalam pendidikan.
PENDIDIKAN BUKAN SEKADAR ADMINISTRATIF
Baca Juga:PKB Warning Walikota Cirebon, Desak Berbagi Peran dengan Wakil Walikota Hyundai Cirebon Kenalkan All New Palisade Hybrid
Dalam konteks hukum, hak adalah sesuatu yang melekat sejak lahir dan tidak boleh dibatasi secara sewenang-wenang. Maka, pendidikan merupakan hak konstitusional dan asasi setiap warga negara, bukan sekadar fasilitas yang boleh diminta atau ditawar-tawarkan.
Artinya kalau ia warga negara Indonesia maka melekat dalam dirinya dan menjadi nilai dalam dirinya untuk mengakses dan mendapatkan pendidikan. Singkatnya pendidikan adalah “keindonesiaan-nya”.
Setiap tahunnya untuk memperoleh pendidikan, seorang anak harus “mendaftar” sebagai gerbang masuk pendidikan. Idealnya, dalam negara yang mengedepankan keadilan sosial, negara yang aktif mendata dan mendaftarkan warga negara usia sekolah, bukan sebaliknya.
Anak-anak cukup mengonfirmasi data mereka dan memilih sekolah berdasarkan lokasi dan minat, tanpa melalui proses yang menyulitkan dan melelahkan. Atas dasar ini kita perlu melakukan interupsi terhadap sistem pelaksanaan pendidikan kita, khususnya pada proses penerimaan siswa baru.
KESENJANGAN KUALITAS
Selain soal data dan pendaftaran, setiap tahunnya, sistem penerimaan siswa baru menguras energi, menimbulkan polemik. Salah satu akar persoalan utamanya adalah kesenjangan kualitas antar sekolah baik dari segi fasilitas, reputasi, maupun mutu pengajaran.
Selama kesenjangan ini terus dibiarkan, sistem zonasi atau domisili yang diterapkan hanya akan menjadi pemicu kecemasan baru, bukan solusi pemerataan. Ide utama lahirnya jalur domisili adalah penyempurnaan dari jalur zonasi yang bertujuan untuk memberikan kesempatan yang adil bagi seluruh calon murid untuk mendapatkan pendidikan berkualitas yang mudah dijangkau berdasarkan domisili mereka.