Namun, dalam mengeluarkan kebijakan maka ada dua pertimbangan utama yang mesti benar-benar matang, yang dilihat secara menyeluruh. Yakni infrastruktur pendidikan dan infrastruktur pendukung harus dibenahi secara merata.
Memang keliru jika pemerintah membuat kebijakan tidak mempertimbangkan infrastruktur dasar dan pendukung jalanya suatu kebijakan yang dikeluarkan. Jalur domisili diharapkan agar siswa tak jauh dari tempat tinggalnya, mudah mengakses sekolahnya, tidak mengendarai kendaraan di bawah umur. Tapi yang mesti kita lihat adalah apakah infrastruktur pendukung yang mesti kita perbaiki.
Kalau kita masih ragu menjawab pertanyaan ini maka jalur domisili bukan solusi justru kebijakan berbasis domisili berpotensi diskriminatif. Yang kedua adalah, mestinya siswa sejak siswa duduk di kelas 5 SD dan 2 SMP bahkan proses pemetaan dan penyebaran siswa sudah bisa dilakukan jauh sebelum tiba masa penerimaan siswa baru. Kenapa demikian? Negara punya data, punya perangkat dari RT, RW, Lurah, Camat, dan Dinas Kependudukan. Seharusnya siswa dan orang tua tidak perlu lagi bingung menjelang kelulusan mereka. Sudah tahu lebih awal ke mana akan melanjutkan pendidikan.
KRITIK TES KOGNITIF
Baca Juga:PKB Warning Walikota Cirebon, Desak Berbagi Peran dengan Wakil Walikota Hyundai Cirebon Kenalkan All New Palisade Hybrid
Yang kedua yang mesti kita intuisi terhadap sistem penerimaan siswa baru adalah tes berdasarkan kognitif. Mengklasifikasi anak-anak semata berdasarkan angka hanya akan mereduksi kompleksitas manusia menjadi bilangan.
Jika seorang anak tidak mencapai skor tertentu, bukan berarti dia gagal. Bisa jadi justru sistem pendidikannya yang gagal menjalankan amanat konstitusi. Negara-negara seperti Jerman, Finlandia, dan Norwegia telah lama meninggalkan sistem seleksi berbasis tes akademik untuk masuk sekolah dasar atau menengah.
Sebagai gantinya, mereka menggunakan pendekatan holistik: asesmen gaya belajar, preferensi minat, dan kondisi psikologis anak. Hasil tes ini bukan untuk menyaring, tetapi sebagai panduan bagi sekolah tujuan dan guru dalam menyesuaikan metode pembelajaran yang lebih personal dan inklusif.
Sayangnya, sistem kita masih terpaku pada angka dan ranking. Seleksi masuk didasarkan pada nilai tes kognitif, yang seolah-olah menjadi satu-satunya parameter kecerdasan anak. Jika teori ini diterapkan, maka tidak ada anak yang bodoh. Yang ada adalah sistem yang belum mampu menemukan dan mengembangkan potensi unik setiap anak.