Jauh sebelum mendirikan komunitas, ia pernah menjadi murid. Belajar dari seorang maestro ukir asal Cirebon bernama Mas Joko. Bertahun-tahun ia menyerap ilmu, teknik, dan filosofi di balik setiap motif ukiran. Dari gurunya itulah Dodi belajar. Mengukir bukan sekadar membentuk kayu, tapi juga membentuk jiwa.
Kini, semua yang ia dapat dari gurunya diwariskan kembali. Tanpa pamrih. Tanpa bayaran. Gratis. “Saya cuma ingin ilmu ini tidak mati. Jangan sampai Gen Z hanya tahu motif ukiran dari gambar di Google, tapi tidak tahu proses panjang dan nilai budaya di balik itu semua,” terangnya.
Meski demikian, tekad yang dimiliki tak mudah. Komunitasnya belum mendapat dukungan pemerintah daerah. Tak ada bantuan alat, tak ada pelatihan, promosi, atau fasilitas pemasaran. “Padahal kami sedang berjuang menyelamatkan budaya. Kalau bukan pemerintah yang mendukung, lalu siapa lagi,” tuturnya.
Baca Juga:Mantan Walikota Cirebon Sudah Diklarifikasi BPK Terkait Gedung Setda Rp86 MiliarIni Hasil Pemeriksaan Gedung Setda Kota Cirebon, Perlu Dikosongkan?
Ia berharap pemerintah bisa lebih hadir. Memberikan ruang bagi Komunitas Ukir Bedulan untuk tumbuh. Mulai dari promosi hasil karya ke wisatawan, pelatihan seni ukir di sekolah-sekolah, hingga pemasaran produk kreatif berbasis budaya lokal.
Ia menyadari di tengah zaman serba digital, ada tantangan yang tidak ringan. Tapi setiap kali melihat mata anak-anak berbinar saat hasil ukiran mereka jadi, ia merasa bahwa perjuangannya tidak sia-sia. “Mereka mungkin belum paham makna budaya, tapi dari belajar ukir, mereka belajar sabar, teliti, dan menghargai proses. Itu nilai-nilai yang hilang di dunia yang serba cepat ini,” terangnya.
Ia mengaku tidak butuh panggung besar, hanya butuh dukungan agar bara kecil yang ia jaga tetap menyala. Agar generasi mendatang tak hanya tahu budaya dari buku sejarah, tapi juga merasakan melalui sentuhan tangan, denting pahat, dan aroma kayu yang terukir pelan-pelan. (sam)