RADARCIREBON.ID -Jalan rusak di Kabupaten Cirebon terus disorot. Tidak sedikit infrastruktur tak tersentuh perbaikan. Parahnya, hingga dua dekade lamanya. Kondisi itu terjadi di Desa Japura Kidul, Kecamatan Astanajapura.
Padahal, jalan perbatasan langsung dengan Kecamatan Pangenan itu merupakan urat nadi perekonomian warga yang menghubungkan tiga desa, Japura Kidul, Japura Lor, dan Beringin.
Kesabaran warga pun akhirnya habis. Berbagai bentuk protes tak kunjung direspons, membuat warga menutup akses jalan menggunakan bambu sebagai bentuk peringatan.
Baca Juga:Rp100 Ribu Dapat Baju dan Celana, Bekas Tapi BerkualitasDPUTR Membangun Infrastruktur Kota Cirebon
Di sisi lain, masyarakat menagih janji pemerintah daerah terkait sejumlah kegiatan proyek perbaikan infrastruktur jalan di bulan Juli 2025.
“Jalan rusak dengan panjang 500 meter ini dipenuhi tanah merah dan lumpur. Saat hujan, kondisinya semakin licin dan membahayakan pengguna jalan,” kata Warga Desa Japura Kidul, Ahmad Yunus, Selasa (8/7).
Menurut Yunus, Kondisi jalan sudah sangat parah. “Pemerintah seolah tutup mata. Sudah lebih dari 20 tahun warga hanya menerima janji,” katanya.
Bagi warga, lanjut Yunus, kerusakan jalan ini bukan sekadar menghambat mobilitas, tapi juga memukul perekonomian warga.
Terlebih, jalur tersebut merupakan akses utama menuju pasar, sekolah, tempat ibadah, hingga layanan kesehatan. “Ekonomi lumpuh. Setiap pagi banyak yang jatuh, karena harus melewati jalan ini,” ungkapnya.
Sementara itu, Kepala Desa Japura Kidul, Heriyanto, mengaku pihaknya tak tinggal diam. Ia menuturkan, pemerintah desa sudah berulang kali mengusulkan perbaikan ke pemerintah kabupaten.
Bahkan, sempat menimbun jalan secara swadaya untuk mengurangi risiko kecelakaan. Namun, perbaikan permanen tak kunjung terealisasi.
Baca Juga:Jukut Goreng Jadi Hidangan FavoritMasyarakat Cirebon Tetap Antusias Datangi Bank Sampah
“Anggaran desa tidak boleh digunakan untuk membangun jalan kabupaten. Secara aturan, itu menyalahi. Kalau boleh, saya yakin dalam setahun jalan ini bisa mulus,” kata Heriyanto.
Ia menegaskan, banyak warga yang tidak paham status jalan, sehingga protes seringkali dialamatkan ke pemerintah desa.
”Padahal ini bukan wewenang kami. Tapi mau bagaimana lagi, warga tetap melampiaskan kekesalannya ke desa,” tuturnya.
Penutupan jalan dengan bambu menurutnya bukan bentuk kebencian pada pemerintah, melainkan ‘alarm keras’ agar janji perbaikan tidak terus diabaikan. “Kalau terus dibiarkan, bukan tidak mungkin warga akan terus berunjuk rasa. Kami tidak mau ada korban lagi baru ada tindakan,” tandasnya. (sam)