Si A yang dimaksud “demokrasi” sebagai sistem kedaulatan rakyat di atas hukum Allah. Rakyat boleh membuat hukum sendiri, bahkan bertentangan dengan wahyu.
Dalam kepala si A, demokrasi sama dengan sistem barat sekuler. Maka, wajar kalau dia bilang: “Ini haram!”
Si B menafsirkan demokrasi” sebagai musyawarah, pemilihan pemimpin dan partisipasi rakyat dalam memilih kebaikan.
Baca Juga:Mengapa Orang Indonesia Suka Foto dengan Bule? Ternyata Ini AlasannyaZohran Mamdani, Muslim Pertama Calon Wali Kota New York, Bikin Trump Naik Pitam
Dalam bayangan si B, demokrasi sama dengan teknik memilih pemimpin, bukan sistem hukum. Maka, dia bilang: “Ini sejalan dengan syura dalam Islam.”
Jadi masalahnya soal definisi demokrasi? Seharusnya sebelum debat, mereka bertanya dulu, yang dimaksud demokrasi itu apa? Apakah Syura sama dengan demokrasi? Atau, demokrasi di sini dalam mekanisme pemilihan atau penetapan hukum?
Kalau sudah sepakat bahwa Syura itu boleh, dan demokrasi mirip dengan Syura maka demokrasi halal.Jika syura itu berbeda dengan demokrasi, bisa jadi haram. Baru debatnya jelas arahnya.
Contoh lain yang lebih teologis. Topiknya soal “Allah itu wujud.” Orang A bilang, “Allah itu wujud!” Orang B mengatakan: “Loh, berarti mujasimmah! Masa Allah mempunyai wujud fisik?
Langsung adu dalil. Padahal, orang A maksudnya wujud sama dengan ada, tidak tiada. Orang B pikirnya wujud sama dengan bentuk, fisik atau benda.
Padahal dua-duanya sepakat. Allah itu ada, bukan benda, tidak punya arah, bentuk, atau tubuh, dan tidak menyerupai makhluk. Tapi karena definisi “wujud” tidak disepakati, mereka berakhir menyerang bayangan mereka sendiri.
Padahal bisa jadi keduanya percaya bahwa Allah itu memang wujud, memang ada, tapi tidak berjisim seperti manusia.
Baca Juga:Miris Kehidupan Lansia di Barat, 1 dari 4 Tinggal Sendirian, Banyak yang Meninggal Sebatang KaraMenyoal Rumah Netanyahu, Diambil Paksa Negara dari Seorang Dokter Palestina
Maka, dalam debat, jangan buru-buru membawa dalil. Sabar dulu. Ikuti tahapan ilmiah dalam logika Mantiq. Yakni At-Tahdid (Menentukan Tema). Bahasnya apa dulu: negara, Tuhan, atau sihir?
Kemudian Ta’rif atau M enyepakati definisi. Misalnya: “Sekuler itu maksudmu apa dulu?”. Kemudian Taqrirul Qadhiyyah atau Rumusan pernyataan. “Apakah benar Indonesia negara sekuler?”
Baru Irodatul Burhan atau penyampaian dalil). Baru sampaikan alasan dan dalil pendukung. Ada juga Naqdh atau bantahan yang rasional. Jika menolak, membantah argumen, bukan perasaan atau orangnya.