RADARCIREBON.ID – Sejumlah SMK swasta di Kota Cirebon menjerit. Tak dapat siswa pada SPMB 2025. Sangat minim. Paling parah di SMK Cipto yang berada di Jalan Melati, Kesambi, Kota Cirebon.
Sekolah itu hanya dapat dua siswa baru. Padahal, pendaftaran murid baru di SMK Cipto dibuka sejak pertengahan Juni 2025.
“Kami hanya 2 siswa. Menurun drastis dibandingkan tahun kemarin sekitar 8 siswa. Saya lihat dari sekolah swasta lain pun merasakan hal sama. Dan ini tak hanya di Kota Cirebon, di kota lain di Jawa Barat juga sama,” kata Ari Nurrahmat, Kepala SMK Cipto sekaligus Ketua Forum SMK Swasta Kota Cirebon.
Baca Juga:Dapur MBG Gegesik dan Arjawinangun Beroperasi Mulai 14 Juli 2025Cerita Gus Yusuf Pilih Lanjut Kuliah di Madinah: Cari Ilmu Sekaligus Ngalap Berkah
Kata Ari, salah satu sebab menurunnya minat siswa melanjutkan sekolah di SMK swasta karena kebijakan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi atau KDM yang menambah batas maksimal rombongan belajar (rombel) menjadi 50 siswa. Sehingga, sekolah negeri berlomba-lomba memperbanyak siswa.
“Faktor utama jelas ketika keputusan gubernur muncul yang memungkinkan SMA Negeri dan SMK Negeri untuk menerima hingga maksimal 50 siswa per rombel. Dampaknya pun ke kami,” ungkapnya kepada Radar Cirebon, Jumat (11/7/2025).
Ditambah lagi ada kebijakan dari SMK Negeri yang memberikan kesempatan kepada siswa yang tak lolos pada Gelombang I, untuk masuk ke Gelombang II untuk memaksimalkan jumlah siswa per rombel berdasarkan ruang kelas. Mirisnya lagi, ada beberapa siswa yang sudah mendaftar ke SMK swasta, justru cabut berkas dari sekolah swasta dan kembali mendaftar ke SMK Negeri.
Sehingga, membuat minat siswa ke SMK swasta menurun. “Di saya (SMK Cipto, red) awalnya ada tiga siswa. Tapi satu siswa cabut berkas dan pindah ke tempat lain. Jadi siswa baru, kita hanya dapat dua,” ujar Ari.
Masih menurut Ari, kebijakan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi yang mengubah jumlah siswa dalam rombel itu bertabrakan dengan Permendikbud mengenai sarana dan prasarana rombel, dan kelas. Yang harusnya per rombel maksimal 36 siswa, kini melebihi 40 siswa.
“Jelas ini menabrak Permendikbud, tapi kok masih jalan. Yang jadi sorotan kenapa kebijakan itu tidak dianalisis terlebih dahulu? Kok bisa buru-buru jadi kebijakan? Kenapa tidak dianalisis terlebih dahulu, disosialisasikan terlebih dahulu,” ucapnya.