RADARCIREBON.ID -Sejumlah pengusaha penggilingan padi di Kecamatan Gegesik menjerit. Pasalnya, pasokan gabah lokal semakin langka. Pun kualitasnya, menurun. Imbasnya, biaya produksi membengkak.
Tidak sedikit pula, para pelaku usaha berhenti beroprasi. Di Desa Gegesik Kidul misalnya, pelaku usaha terpaksa mendatangkan gabah dari luar daerah. Purwodadi dan Demak Jawa Tengah.
“Pengambilan gabah dari luar kota ini menjadi solusi ditengah sulitnya memperoleh bahan baku berkualitas dari wilayah sendiri,” kata Arjo pemilik penggilingan padi, kemarin.
Baca Juga:Telkom Gandeng 5 Sekolah Percepat Digitalisasi PendidikanUNU Cirebon dan KemenP2MI Jalin Kerja Sama
Menurutnya, gabah dari wilayah Cirebon sulit didapat. Kalaupun ada, kualitasnya sangat buruk. Tidak sesuai dengan kebutuhan pasar. Pun harganya naik drastis.
“Gabah lokal, khususnya jenis IR 32 atau kebo borang, tidak hanya sulit diperoleh, tapi juga tak sesuai dengan selera pasar. Tekstur nasinya yang kurang pulen membuat konsumen enggan membeli,” katanya.
Menurutnya, dalam dua bulan terakhir, harga gabah melonjak tajam. Gabah basah yang sebelumnya dibeli seharga Rp5.600-Rp6.000 per kilogram, kini mencapai Rp7.750 per kilogram (kg), belum termasuk ongkos kirim yang bisa tembus Rp2,2 juta per muatan.
“Kalau dihitung sama ongkos, jatuhnya bisa Rp 8.000-an per kilogram. Ya jelas berat buat usaha kecil kayak kita,” keluhnya.
Arjo juga mengungkapkan persaingan yang semakin sengit di lapangan. Banyak penggilingan kecil harus berebut pasokan dengan pembeli bermodal besar, membuat harga makin tak terkendali.
“Barangnya rebutan, kita juga nggak tahu sama siapa. Mungkin sama perusahaan besar. Yang jelas kita makin susah dapat barang,” tutur Arjo.
Meski begitu, Arjo menegaskan, dirinya tak pernah melakukan praktik oplosan beras seperti yang kerap dituduhkan ke penggilingan.
Baca Juga:Bupati Imron Apresiasi Roadshow KPK ke Kabupaten Cirebon Telkom Gelar IDL 2025 di Cirebon, Dorong Literasi Digital Guru
“Kami kerja jujur. Isu beras oplosan itu malah merugikan kami. Kalau sampai dituduh begitu, ya makin berat usaha kami,” tegasnya.
Berbeda dengan Arjo yang tetap berusaha bertahan, penggilingan lain di Desa Gegesik Lor memilih jalan berbeda. Aksol Amri, pemilik penggilingan, mengaku telah menghentikan produksi sejak sebulan lalu.
“Sudah hampir satu bulan tidak beroperasi. Gabah nggak ada, gimana mau jalan?” ujarnya.