Beruntung, para orang tua murid ABK menyadari hal itu dan seringkali membantunya secara pribadi. Dengan gaji Rp250 ribu ditambah insentif Rp100 ribu, total pendapatan Susi saat itu hanya Rp350 ribu. Pengabdian Susi di SD Perwari berakhir pada tahun 2022 saat sekolah tersebut ditutup karena kekurangan siswa.
Sebelum penutupan, Susi sempat berjuang keras agar para siswa kelas enam, khususnya ABK, dapat menyelesaikan ujian kelulusan dengan baik.
Ia bahkan sampai menangis di hadapan perwakilan dinas pendidikan dan yayasan. “Bapak mau menjamin tidak anak saya di sekolah negeri diurus? Diperhatikan?” tanyanya.
Baca Juga:Ahli K3: Baiknya Kosongkan Gedung Setda Kota CirebonBupati Cirebon Belum Berencana Menaikkan Tarif PBB
Susi khawatir anak-anak ABK tidak akan mendapatkan pendampingan yang layak jika dipindahkan. Di SD tersebut, Susi menerima uang pesangon sebesar Rp2,5 juta setelah delapan tahun mengabdi.
Setelah SD Perwari tutup, Susi melanjutkan pengabdiannya di SMP Harapan Kita hingga sekarang. Di mana ia kembali menghadapi empat murid ABK. Saat ini, gajinya Rp400 ribu per bulan. Mengajar dari Senin hingga Jumat.
Lantas, apa sih yang membuat Susi bertahan selama ini? “Nggak tahu, dari hati saja (tetap mengabdi di dunia pendidikan, red), jadi tak jadi beban. Biarkan yang muda-muda saja yang mendaftar (PPPK), saya sejauh ini fokus mengajar saja,” ujarnya.
Susi tak sendiri. Kepala sekolah tempatnya mengajar, Ajeng Sokawati Aningsih (31), juga merasakan perjuangan serupa. Ajeng, yang lulus kuliah pada tahun 2015, langsung bergabung dengan SMP Harkit. Saat itu, kondisi sekolah sangat memprihatinkan, bahkan kepala sekolah sebelumnya telah kabur membawa uang Bantuan Operasional Sekolah (BOS) sehingga ia dan guru lainnya tidak digaji selama setahun.
Gaji awal Ajeng hanya Rp250 ribu. “Awal-awal mengajar tidak dibayar. Karena kepala sekolahnya tidak ada saat itu, kabur membawa uang BOS. Selama 1 tahun tidak dibayar,” ujar Ajeng.
Ajeng melihat kondisi sekolah yang “seperti di ambang kehancuran,” dengan administrasi yang berantakan dan siswa yang tak jelas keberadaannya, sebagai sebuah tantangan. Ajeng dan dua guru lain bahu-membahu memperbaiki sekolah dari nol. Sudah 10 tahun. Kini, Ajeng menjabat sebagai kepala sekolah dengan gaji Rp600 ribu. Ia pun bertekad memastikan para guru selalu menerima gaji tepat waktu, meskipun jumlahnya kecil.