Sementara sedekah uang logam dalam tradisi tawurji, menjadi simbol kebersamaan, saling berbagi, dan doa agar masyarakat terhindar dari musibah. “Yang penting bukan banyaknya uang atau apem yang didapat,” lanjut Sultan.
“Tapi bagaimana kita bisa mengambil hikmah, meningkatkan ketakwaan, serta menjaga persaudaraan. Itu pesan utama dari Rebo Wekasan,” tuturnya.
Bagi masyarakat Cirebon, Rebo Wekasan memang lebih dari sekadar ritual tahunan. Ia adalah warisan budaya sekaligus pengingat tentang keterhubungan manusia dengan Sang Pencipta.
Baca Juga:Untuk Gedung Setda Kota Cirebon, Wakil Ketua DPRD Sebut KDM Janji Bantu Rp15 MiliarGaji Guru di Cirebon: Semangkuk Bakso dan Rp180 Ribu Per Bulan
Meski dalam praktiknya kadang diwarnai suasana riuh hingga ricuh, semangat kebersamaan tetap menjadi nafas utama. Seperti diungkap salah seorang warga, Rini (42), warga Kelurahan Pekalangan. Ia rela berdesakan hanya demi mendapat sepotong apem.
“Apem ini simbol berkah. Rasanya beda kalau dapat langsung dari keraton. Kami percaya, ada doa dan keberkahan di dalamnya,” ujarnya sambil tersenyum puas.
Sementara bagi generasi muda keraton, pelestarian tradisi menjadi tantangan tersendiri. Di tengah arus modernisasi, ritual semacam ini tak jarang dipandang kuno. Namun Sultan Abdul Gani menegaskan, Rebo Wekasan akan tetap dilestarikan.
“Kita boleh maju, boleh modern, tapi jangan sampai melupakan akar budaya. Tradisi ini bukan sekadar warisan, tapi juga bentuk dakwah dan pendidikan spiritual,” tandasnya.
Ritual pun ditutup dengan doa bersama, dipanjatkan agar Cirebon dan masyarakat luas dijauhkan dari mara bahaya. Perlahan, warga pun bubar, sambil menenteng apem atau menggenggam beberapa keping uang koin yang berhasil mereka rebut.
Senyum kepuasan tampak di wajah mereka, membawa pulang keyakinan bahwa berkah telah mereka dapatkan di hari Rabu penutup bulan Safar itu. (ade)