Kebijakan KDM Dikritik, Pesantren NU di Jawa Barat Desak Revisi Aturan Jam Sekolah dan Kelas Isi 50 Siswa

pesantren nu jawa barat tolak aturan KDM
Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PWNU Jabar bersama ratusan pesantren se Jawa Barat menolak kebijakan jam masuk sekolah dan kelas berisi 50 siswa. Foto: istimewa-radar cirebon.
0 Komentar

RADARCIREBON.ID- Sikap tegas datang dari forum Bahtsul Masail (BM) Kubro yang digelar Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PWNU Jabar bersama ratusan pesantren se Jawa Barat. Agenda itu dilaksanakan di Pondok Pesantren KHAS Kempek, Kabupaten Cirebon.

Forum Bahtsul Masail pun kompak menolak kebijakan Pemerintah Provinsi Jawa Barat soal jam masuk sekolah pukul 06.30 dan rombongan belajar atau rombel 50 siswa.

Dalam forum tersebut, sepakat merekomendasikan agar Peraturan Gubernur (Pergub) Jawa Barat direvisi. Alasannya, kebijakan tersebut dinilai cacat prosedur, tidak berpihak pada dunia pendidikan, dan berpotensi mengorbankan keberlangsungan madrasah diniyah yang selama ini menjadi benteng pendidikan karakter keagamaan anak bangsa.

Baca Juga:Musorkablub KONI Kabupaten Cirebon Bisa Digelar Agustus IniPaguyuban Pelangi Audiensi dengan Walikota Cirebon, Polemik Tarif PBB Berakhir

“Masuk sekolah jam 06.30 dengan pola lima hari belajar terbukti tidak efektif, bertentangan dengan hasil riset, merugikan orang tua, dan yang paling mengkhawatirkan adalah menggerus jam belajar diniyah. Pemerintah tidak boleh mengorbankan pendidikan agama dengan dalih efisiensi,” tegas KH Ahmad Yazid Fatah, Ketua Tim Ahli LBM PWNU Jabar saat membacakan keputusan BM.

Forum BM Kubro menilai peraturan yang dibuat Gubernur Jabar, Kang Dedi Mulyadi (KDM) tersebut dibuat tanpa uji publik.

Tak melibatkan DPRD maupun biro hukum, sehingga dianggap tidak sahih secara hukum. Bahkan, kebijakan jam sekolah lebih pagi itu justru bertolak belakang dengan hasil kajian ilmiah internasional yang menunjukkan bahwa siswa lebih produktif bila jam masuk dimulai lebih siang.

“Ini bukan sekadar masalah teknis jam sekolah. Ini menyangkut cara pemerintah membuat kebijakan tanpa mendengar suara masyarakat, tanpa data yang memadai, dan tanpa mempertimbangkan fikih sosial. Akibatnya, semua pihak dirugikan, siswa, orang tua, hingga pesantren,” tegasnya dalam rilis yang diterima Radar Cirebon, Minggu (24/8/2025).

Kritik paling keras diarahkan pada benturan aturan ini dengan sistem pendidikan diniyah. Pasalnya, jam pulang sekolah formal yang mencapai pukul 14.00 tumpang tindih dengan jam masuk madrasah diniyah takmiliyah yang umumnya dimulai pukul 13.00. Kondisi ini berpotensi membuat ribuan santri kehilangan ruang belajar agama.

“Pendidikan agama adalah fondasi moral generasi bangsa. Justru itu yang dikorbankan dengan aturan ini. Pemerintah seharusnya memberi perhatian proporsional, bukan malah menyingkirkan pendidikan diniyah,” ujarnya.

0 Komentar