DEEP Indonesia Dorong Perkuat Posisi Bawaslu Ketimbang Jadi Ad Hoc

DEEP Indonesia
BEDA TAFSIR: Direktur DEEP Indonesia Neni Nur Hayati menyebutkan, perbedaan tafsir antara kepolisian, kejaksaan, dan Bawaslu dalam Sentra Gakkumdu kerap memperumit proses penanganan pelanggaran pemilu. Foto: ist
0 Komentar

KUNINGAN–Direktur DEEP Indonesia Neni Nur Hayati, menegaskan pentingnya memperkuat kelembagaan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) alih-alih membubarkan atau mengembalikan lembaga tersebut ke status Ad Hoc.

Menurutnya, Bawaslu justru harus berevolusi menjadi institusi yang memiliki kewenangan ajudikasi, bahkan bertransformasi menjadi badan peradilan pemilu.

“Kalau ada pihak yang menginginkan pembubaran Bawaslu, saya justru lebih memilih membubarkan Sentra Gakkumdu. Karena faktanya, laporan-laporan dugaan pelanggaran yang kami layangkan selalu mentok di sana,” tegasnya, Jumat (12/9).

Baca Juga:Tanpa Lionel Messi, Argentina Kalah Oleh Ekuador, Apa Yang Terjadi?Gus Ipul Buka Pelatihan Nasional Wali Asuh dan Wali Asrama Sekolah Rakyat di Yogyakarta

Ia mengungkapkan, selama ini perbedaan tafsir antara kepolisian, kejaksaan, dan Bawaslu dalam Sentra Gakkumdu kerap memperumit proses penanganan pelanggaran pemilu. Akibatnya, dugaan pelanggaran serius seperti politik uang, keterlibatan kepala desa, hingga campur tangan ASN sering kali tidak berujung pada sanksi yang menimbulkan efek jera.

“Hal ini berbahaya bagi demokrasi. Masyarakat bisa kehilangan kepercayaan pada Bawaslu, karena laporan yang masuk tidak menemukan jawaban. Pada akhirnya, publik memilih membawa kasus ke Mahkamah Konstitusi, yang justru bisa memberikan putusan tegas, seperti diskualifikasi calon atau perintah PSU,” ujarnya.

Menurutnya, situasi ini merupakan evaluasi serius bagi sistem penegakan hukum pemilu. Tanpa penguatan kelembagaan, pengawasan pemilu hanya akan berjalan setengah hati.

Lebih jauh, Neni juga menyoroti putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang memisahkan pemilu nasional dan pemilu daerah. Ia menilai, kondisi ini harus segera ditindaklanjuti oleh pemerintah dan DPR dengan membahas perubahan undang-undang pemilu dan pilkada secara transparan.

“Semakin lama dibahas, semakin menutup ruang deliberasi publik. Saya khawatir ada banyak pasal-pasal siluman yang disisipkan di situ. Dan ini berpotensi akan tidak terkawal oleh masyarakat dan tidak terkawal oleh publik. Seperti RUU-RUU sebelumnya yang terjadi kemarin kaitan RUU TNI dan RUU Polri, yang jauh dari partisipasi masyarakat. Padahal di dalamnya ada pasal-pasal sangat krusial,” jelasnya.

Ia menekankan, proses modifikasi UU Pemilu tidak boleh tertutup, melainkan harus membuka ruang publik yang luas agar masyarakat sipil dapat memberi masukan.

“Ini bukan hanya soal teknis aturan, tapi menyangkut masa depan demokrasi kita. Pemerintah, DPR, dan masyarakat sipil harus duduk bersama,” pungkasnya. (ags)

0 Komentar