Ia juga mengingatkan bahwa publik kini lebih kritis. Media sosial memudahkan kabar liar menyebar dengan cepat. Jika konflik tidak segera diredam, opini negatif akan meluas. “Ini kan era serba cepat. Jadi harus cepat pula menjawab isu,” ucapnya.
Ia menilai langkah paling realistis adalah pertemuan tertutup antara Edo dan Farida. Mengembalikan komunikasi. Menyatukan langkah. Menjaga soliditas. “Jangan sampai yang sudah dibangun hancur karena ego. Masyarakat butuh kepemimpinan yang fokus, bukan yang ribut sendiri,” tukasnya.
Senada disampaikan praktisi hukum Sahroni Iva Sembiring. Ia membaca situasi ini dengan tajam. Menurutnya, persoalan yang muncul lebih berbau manuver politik ketimbang murni hukum pidana. Ia melihat Wakil Walikota Siti Farida sebagai sosok yang natural, lugu, dan relatif bebas dari manuver politik.
Baca Juga:Kurang Kelas, Siswa SDN 1 Cirebon Girang Belajar di Musala, Begini Kondisinya Musorkablub KONI Kabupaten Cirebon: Jigus Calon Tunggal, Sutardi Tempuh Jalur Hukum
Namun, lanjutnya, posisi lugu itu justru membuka celah dimanfaatkan pihak-pihak tertentu di lingkaran partai pendukung. Isu Rp20 miliar yang diangkat Handoyo juga ia nilai janggal.
Dalam aturan pemilu, dukungan dana pribadi dibatasi Rp2,5 miliar. Angka Rp20 miliar, kata dia, jelas di luar batas dan mengandung indikasi pelanggaran. Namun, jalur yang ditempuh Handoyo dianggap keliru. Sengketa uang sebesar itu seharusnya masuk ranah perdata, bukan pidana.
Sahroni yang menjadi salah satu tim hukum Edo-Farida pada pilkada lalu itu mengingatkan bahwa memproses laporan pidana terhadap seorang walikota tidak sederhana. Pemanggilan harus melalui izin Mendagri atau Presiden. Dasar hukumnya pun harus kuat.
Tanpa itu, laporan berpotensi mentah di meja penyidik. Ia menilai langkah Handoyo hanyalah manuver politik untuk menekan lawan, bukan proses hukum yang murni. Meski begitu, ia tak menutup mata soal urgensi penyelesaian.
Menurutnya, jalan terbaik adalah islah. Duduk bersama, menghitung kembali dana Rp20 miliar: berapa yang digunakan untuk Siti Farida, berapa untuk Edo. Semua data, menurutnya, sudah tercatat di KPU. Tinggal kemauan politik dan mediator yang netral. Ketiadaan mediator membuat isu ini terus digoreng.
Pihak-pihak berkepentingan memanfaatkan celah ini untuk memperuncing jarak Edo dan Farida. Padahal, jika diselesaikan dengan perhitungan jelas, polemik ini bisa reda. “Intinya damai. Jangan mau diperalat,” tegas Sahroni, Senin (15/9/2025).