PERDEBATAN mengenai rencana naming rights Stasiun Cirebon menjadi “Stasiun Cirebon BT Batik Trusmi” telah memantik pro dan kontra di kalangan masyarakat. PT KAI Daop III Cirebon sebelumnya menggandeng BT Batik Trusmi untuk kerja sama ini, namun menjelang launching pada 1 Oktober 2025, acara tersebut tiba-tiba dibatalkan atau ditunda. Keputusan mendadak ini menimbulkan kekecewaan, terutama dari pihak BT Batik Trusmi yang merasa sudah mempersiapkan promosi jauh-jauh hari.
Di satu sisi, penambahan nama batik pada stasiun sebenarnya bisa dilihat sebagai upaya kreatif dalam memperkuat identitas Cirebon sebagai kota budaya. Selama ini, batik Trusmi memang sudah menjadi ikon pariwisata yang dikenal luas, bahkan hingga mancanegara. Dengan melekat pada fasilitas publik sebesar Stasiun Cirebon, nilai promosi yang dihasilkan tentu sangat besar. Hal ini sejalan dengan praktik naming rights yang lazim di dunia internasional, di mana ruang publik bekerja sama dengan sektor swasta untuk mendukung pembiayaan sekaligus memperluas branding.
Namun, ada hal mendasar yang tidak boleh diabaikan: nilai sejarah dan kepentingan masyarakat luas. Stasiun Kejaksan bukan sekadar bangunan transit. Ia adalah cagar budaya, saksi bisu perkembangan Cirebon sejak masa kolonial hingga kini. Menyematkan nama komersial tanpa melibatkan proses musyawarah yang transparan akan menimbulkan resistensi publik. Apalagi sebagian pihak menilai, kerja sama ini lebih condong pada kepentingan bisnis dibandingkan dengan pelestarian budaya.
Baca Juga:Beternak Ayam Kampung yang Menggiurkan5 Fakta Unik Kabupaten Ciamis, Ada Kampung Seribu Pantangan
Lebih ironis lagi, realitas di lapangan menunjukkan bahwa para pengrajin batik Trusmi justru menghadapi tantangan berat. Banyak di antara mereka kalah bersaing dengan industri batik dari daerah lain. Pertanyaannya, apakah naming rights ini benar-benar memberikan manfaat langsung kepada pengrajin batik? Ataukah sekadar menguntungkan brand besar semata?
Kita perlu menegaskan, naming rights bukanlah persoalan salah atau benar. Persoalannya adalah arah dan manfaat. Jika benar-benar ingin mengangkat batik Trusmi sebagai kebanggaan Cirebon, maka kerja sama ini seharusnya dibarengi dengan program nyata: pelatihan pengrajin, dukungan pemasaran, hingga perlindungan terhadap batik tulis asli agar tidak tergilas batik printing.
Pembatalan atau penundaan launching bisa menjadi momentum refleksi. PT KAI, pemerintah daerah, pelaku usaha, dan masyarakat perlu duduk bersama merumuskan ulang skema kerja sama ini. Bukan hanya soal nama, tetapi juga bagaimana naming rights bisa menjadi instrumen kolaborasi lintas sektor: budaya, ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat.