RADARCIREBON.ID – Polemik pencabutan nama BT Batik Trusmi dari Stasiun Cirebon Kejaksan masih menjadi perhatian publik. Hal ini mencuat kembali setelah berlangsungnya Rapat Dengar Pendapat (RDP) di DPRD Kota Cirebon yang membahas persoalan naming rights antara PT KAI dengan pihak swasta.
Wawan Hernawan, pemerhati sekaligus praktisi budaya Cirebon, menyampaikan pandangannya usai mengikuti perkembangan isu tersebut. Ia menegaskan bahwa keputusan untuk mencabut nama sponsor dari stasiun merupakan langkah yang tepat, sejalan dengan pernyataan tegas anggota Komisi III DPRD Kota Cirebon, Umar Stanis Clau.
“Saya sepakat dengan apa yang disampaikan Pak Umar Stanis Clau, bahwa kebijakan naming rights berpotensi menimbulkan dampak luas, terutama terkait monopoli bisnis. Lebih dari itu, penggunaan nama daerah sebagai bagian dari merek komersial juga perlu ditinjau dari aspek hukum dan budaya,” ujar Wawan.
Baca Juga:Naming Rights Stasiun Cirebon, Branding atau Pelestarian Budaya?Beternak Ayam Kampung yang Menggiurkan
Menurutnya, apabila ditinjau melalui Undang-Undang Merek dan Indikasi Geografis, penggunaan nama daerah sebagai merek tidak tepat. Hal ini karena nama daerah merupakan tanda yang bersifat umum, dimiliki oleh masyarakat luas, dan menjadi identitas kolektif.
“Nama daerah tidak seharusnya dijadikan komoditas bisnis. Itu adalah milik masyarakat, bukan kepentingan segelintir pihak. Jika nama daerah digunakan sebagai merek, maka terjadi penyempitan makna yang dapat merugikan hak kultural masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut,” jelasnya.
Lebih jauh, Wawan menekankan pentingnya menjaga keseimbangan antara kepentingan bisnis dan pelestarian budaya. Ia berharap pemerintah daerah, DPRD, maupun stakeholder lainnya dapat duduk bersama untuk membuat regulasi yang berpihak pada kepentingan masyarakat Cirebon secara keseluruhan.
“Kita tentu mendukung perkembangan ekonomi kreatif, termasuk batik. Tapi jangan sampai terjadi monopoli dan pemanfaatan nama daerah yang justru menyingkirkan makna budaya serta hak kolektif masyarakat. Itu yang harus kita jaga bersama,” pungkasnya.
Dengan demikian, diskursus naming rights stasiun ini bukan hanya soal bisnis semata, melainkan juga menyangkut identitas, keadilan, dan hak kultural masyarakat Cirebon.