RADARCIREBON.ID – Ada yang berbeda di Stasiun Cirebon. Suara gitar akustik berpadu dengan tiupan suling mengisi ruang tunggu. Alunan itu tak lain adalah tarling klasik khas Cerbonan.
PT KAI Daop 3 Cirebon menghadirkan tarling dalam rangka memperingati HUT ke-80. Bukan sekadar hiburan, melainkan juga sebuah upaya merawat seni tradisi agar tetap hidup di ruang publik.
Grup Tarling Putra Sangkala Reborn pimpinan HM Saptaji tampil sebagai pengisi acara.
Baca Juga:Groundbreaking PLTS Terapung SagulingSMA Santa Maria 1 Cirebon Tunjukkan Mental Juara
Nama Saptaji bukanlah asing di telinga pencinta tarling. Ia merupakan putra dari maestro pencipta lagu legendaris asal Cirebon yang kini berupaya menghidupkan kembali seni tradisi itu di tempat yang tak biasa: stasiun kereta.
Sejumlah penumpang yang baru turun dari KA Argo Cheribon tampak tertegun ketika suara merdu Hj Uun Kurniasih, maestro tarling, mengalun membawakan lagu-lagu lawas Cirebon dengan penuh penghayatan.
Ada yang langsung merekam dengan ponsel, ada yang ikut bersenandung, tak sedikit pula yang hanya terdiam, larut dalam nostalgia.
KAI memastikan sajian tarling ini bukan hanya sekali lewat. Pesan yang ingin disampaikan jelas: tarling adalah warisan budaya yang harus tetap dijaga.
Seni ini sejak lama bukan sekadar tontonan, tetapi juga berfungsi sebagai hiburan rakyat, sarana penyampai pesan moral, hingga pengiring berbagai hajatan.
Di sela acara, wajah penumpang terlihat semringah. Mereka merasa perjalanan kali ini lebih istimewa. Bukan hanya menunggu kereta, melainkan juga mendapat suguhan budaya asli tanah Wali.
Pimpinan grup tarling mengaku bangga diberi kesempatan tampil di jantung transportasi kota. Terlebih, respons penonton begitu positif.
Baca Juga:Cordela Hotel Cirebon menghadirkan Makan Siang All You Can Eat Hanya Rp50 Ribu Disnaker Gelar Konsultasi Produktivitas untuk Perusahaan
“Ini bukti bahwa tarling masih memiliki tempat di hati masyarakat,” ujarnya.
Uun Kurniasih tampil sederhana dengan kebaya. Mikrofon digenggam erat, wajahnya penuh ekspresi, sementara gitaris di belakangnya memetik nada dengan khidmat.
Penumpang berkerumun, ada yang duduk di kursi tunggu, ada pula yang berdiri. Tatapan mereka tak beranjak dari panggung kecil itu—seolah tak ingin melewatkan satu detik pun penampilan tarling. (ade)
