Rumah Mewah Sulit Laku, Namanya Liquidity Trap, Ada 3 Hal yang Mempengaruhi 

Rumah mewah sulit laku
Banyak rumah mewah yang sulit laku dijual. Bukan hanya itu, dikontrakkan dan disewa bulanan pun kurang diminati.
0 Komentar

Pertama, karena biaya pemeliharaan dan pajak tinggi. Di antaranya biaya maintenance, pajak, dan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) membutuhkan biaya besar.

Secara logika, dari pada uang terbuang untuk biaya pemeliharaan, lebih baik diputar untuk instrumen lain yang menghasilkan uang.

Kedua, ada perubahan preferensi dan pola perilaku dari generasi sekarang. Jika dulu, para pembeli rumah mewah sering dianggap “prestise”, tapi anak sekarang lebih realistis.

Baca Juga:Korsleting Listrik, Sepeda Motor Terbakar di Klangenan CirebonCara Kelola Dana Darurat Bagi Korban PHK, Ada 3 Hal yang Harus Dilakukan

Selain biaya yang sangat mahal, mereka itu tidak suka dengan keterikatan. Jika mereka memiliki rumah, dianggap bakal mengganggu ruang gerak mereka.

Belum lagi soal preferensi utama mereka yang lebih mengejar experience, seperti travelling dan hidup nomaden dari kota satu ke kota lain. Hal ini dibanding dengan memikirkan status sosial rumah mewah.

Ketiga, ini faktor yang membikin orang enggan membeli properti mewah. Ketidakpastian ekonomi yang makin hari kian terasa.

Jika memiliki uang Rp1 miliar, lebih baik disimpan di reksadana atau deposito. Keduanya bisa cair kapan saja. Hal ini berbeda dengan Rp1 miliar di rumah mewah yang bisa membutuhkan 6–12 bulan untuk dijual lagi.

Terus pertanyaannya, apakah investasi properti masih menjanjikan sekarang ini? “Kita bagi 2 dulu ya, properti mewah dan produktif,” tandas akun itu.

Jika properti mewah, dari berbagai perkembangan data sudah tak seseksi dulu. Pergerakan cuannya lambat. Tentu jika dibandingkan saham, reksadana, atau SBN yang bisa memberikan 6–10% per tahun.

Tentu berbeda cerita jika untuk properti produktif. Seperti kos, kontrakan, ruko, atau tanah di area berkembang.

Baca Juga:Pentingnya Branding Kawasan Rebana, Bisa Jadi Masa Depan Ekonomi Jawa BaratUEA Tertarik Tanamkan Modal di Bandara Kertajati, Etihad Berencana Buka Rute untuk Jamaah Umrah

Mengapa? Padahal banyak drama dan pergerakannya juga tak secepat reksadana, saham dan lainnya? Investasi di properti produktif tetap bisa menjadi pilihan jika memiliki horizon jangka panjang 10–20 tahun dan siap menunggu kenaikan harganya.

Melihatnya harus sebagai aset jangka panjang dan pelengkap portofolio, bukan satu-satunya sumber investasi. Intinya properti masih menjanjikan, tapi tak cocok untuk semua orang.

“Ini bukan lagi soal nggak layak, tapi investasi itu harus melihat tujuan realistis dan strategis finansial,” jelas akun itu menutup postingannya.

0 Komentar