Beberapa pekan berjalan, kegiatan pengawasan pun hilang. Tak ada lagi patroli. Tak ada teguran.
Siarudin menyebut, awalnya semua pihak kompak menjalankan instruksi gubernur. Tapi tanpa sistem pengawasan tetap, kebijakan kehilangan tenaga.
Kini, Kawasan Stasion Bima kembali jadi tujuan remaja. Nongkrong di warung, duduk di trotoar, hingga larut malam. Tak ada lagi yang menegur. Tidak ada lagi yang mencatat.
Baca Juga:Diskusi di Radar Cirebon, Kaesang Sebut PSI Masih Harus Kerja Keras di JabarDamkar Turun Tangan, Bocah 8 Tahun Terjebak di Mobil Selama 90 Menit
Di SMAN 8 Cirebon, kegiatan pagi tetap tertib. Siswa datang pukul 06.30, mengaji sebelum belajar.
Tapi setelah pulang, siapa yang mengawasi mereka di malam hari? Kebijakan jam malam tinggal slogan. Ramai di awal, sepi di tengah jalan. Gebrakan tanpa konsistensi.
Larangan pelajar membawa motor tanpa SIM menjadi kebijakan ketiga yang juga mandek. Di atas kertas, aturan ini tegas.
Tapi di lapangan, pelaksanaannya penuh celah. Di Kota Cirebon, pelajar tetap datang dengan motor. Bedanya, mereka memarkir di tempat alternatif -bukan di sekolah.
Ada yang parkir kendaraan di trotoar, pelataran toko, di tepi jalan, bahkan menggunakan halaman masjid.
Warga sekitar melihat peluang. Lahan kosong disulap jadi parkir berbayar. Dua ribu rupiah per hari. Aman, tapi ilegal.
Siarudin menjelaskan, SMAN 8 Cirebon tak dilalui angkutan umum. Tanpa motor, siswa sulit datang tepat waktu. “Kalau naik ojek daring setiap hari, biayanya berat,” katanya.
Baca Juga:BLT Tambahan Cair Hari Ini, Tepat 1 Tahun Prabowo-Girban, Termasuk Program Magang NasionalBKPSDM Kabupaten Cirebon Verifikasi Perpanjangan Kontrak PPPK Generasi Pertama
Sekolah akhirnya mencari jalan tengah. Menyewa dua lahan parkir: satu di halaman Cirebon TV, satu lagi di dekat TPU sekitar. Parkir resmi tapi bukan milik sekolah.
Siswa tetap diizinkan membawa motor, meski belum punya SIM. Syaratnya: motor lengkap surat, standar pabrikan, tanpa knalpot bising.
Ada sistem checklist yang diterapkan. Data motor dicatat. Yang lolos diberi stiker. “Yang penting tidak ngebrong,” ujar Siarudin.
Kebijakan larangan motor akhirnya menjadi paradoks. Di satu sisi, provinsi melarang keras. Di sisi lain, sekolah dipaksa menyesuaikan.
Karena tidak ada transportasi publik yang bisa diandalkan, aturan tak bisa dijalankan sepenuhnya.
Di sekolah pinggiran kota, pelanggaran malah tumbuh. Banyak parkiran liar bermunculan. Pemerintah tidak menyiapkan sistem pengawasan.
