“Dua fenomena ini (penutupan galian di Argasunya dan lesunya industri rotan di Plumbon, red) cukup memberikan kontribusi peningkatan jumlah pengangguran yang besar di Kota Cirebon,” ucapnya.
Lanjutnya, pada tahun 2024 pengangguran terbesar di Kota Cirebon berasal dari lulusan SMA (45,77%). Sedangkan di Jawa Barat pengangguran terbesar di tahun yang sama berasal dari lulusan SMK (30,93%). “Banyak lulusan SMK yang disiapkan untuk bekerja tidak terserap karena jurusan yang tersedia tidak sesuai dengan kebutuhan keahlian yang diperlukan dunia kerja yang ada,” tukasnya.
PROSES PERIZINAN BERBELIT, SDM BELUM SIAP
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Kabupaten Cirebon menilai masih tingginya angka pengangguran disebabkan dua faktor besar yang menjadi penghambat utama. Yakni, lambannya proses perizinan industri dan belum siapnya sumber daya manusia (SDM) lokal untuk bersaing di sektor industri yang terus tumbuh.
Baca Juga:Petani asal Jemaras Lor Ikut Diperiksa KPK sampai Tak Bisa Tidur, Terkait SatoriKemenag RI Tetapkan Kabupaten Cirebon sebagai Kota Wakaf
Ketua Apindo Kabupaten Cirebon Asep Sholeh Fakhrul Insan mengatakan geliat industri di Jabar, termasuk Kabupaten Cirebon, sebenarnya menunjukkan tren positif dalam beberapa tahun terakhir. Namun, di balik angka investasi yang meningkat, banyak perusahaan justru belum bisa beroperasi lantaran masih terkendala izin.
“Sebenarnya industri di Jawa Barat sedang tumbuh, termasuk di Cirebon. Tapi masalahnya bukan pada sulitnya mencari tenaga kerja, melainkan perizinan yang lambat. Akibatnya, perusahaan belum bisa membuka lapangan kerja,” ujar Asep kepada Radar Cirebon, Kamis (6/11/2025).
Ia mencontohkan, sejumlah industri di Kabupaten Cirebon hingga kini belum memperoleh izin operasional lantaran proses administrasi masih berbelit di berbagai tingkatan pemerintahan, dari pusat hingga provinsi.
Salah satu kendala terbesar, lanjut Asep, terjadi pada penerbitan Persetujuan Teknis Instalasi Pengolahan Air Limbah (Pertek IPAL) oleh Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi Jawa Barat yang memakan waktu sangat lama. “Ada perusahaan yang sudah menunggu lebih dari satu tahun hanya untuk mendapatkan Pertek IPAL. Padahal izin itu dasar bagi perusahaan untuk bisa beroperasi,” jelasnya.
Asep menjelaskan, setelah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2025, pengurusan izin di tingkat pusat memang mulai membaik. Namun, di level provinsi, terutama di DLH Jawa Barat, prosesnya masih berjalan lambat dan belum efektif.
