RADARCIREBON.ID – Ini kabar yang kurang menggembirakan. Kondisi ekonomi Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Banyak indikator yang menjadi tolak ukur kondisi tersebut.
Bahkan jika tidak terkelola dengan baik, ancaman seperti Krisis Ekonomi (Krismon) 1988, bisa terulang. Terutama perbaikan dan koordinasi dalam sektor fiskal dan moneter.
Indikasi itu terlihat dari data dari Bank Indonesia (BI) baru-baru ini. Data itu menunjukkan jika uang beredar dalam arti luas (M2) pada Oktober 2025 hanya tumbuh 7,7 persen dibanding tahun lalu. Bahkan melambat dari 8,0 persen pada September 2025.
Baca Juga:Identitas Warga yang Tewas Tertemper Kereta Api Harina di Kanci Kulon CirebonKonflik Keraton Solo, Ada 16 Paugeran untuk Duduki Tahta Raja Kasunanan, Jadi Ganjalan Purbaya
Data itu diungkap oleh penggiat media sosial Erizeli Jely Bandaro. Dalam unggahannya di Facebook, dia mengungkapkan jika data BI itu bukan hanya sekadar angka penyesuaian teknis. Tetapi, bagi para ekonom moneter, data itu menunjukkan indikasi struktural yang perlu diwaspadai.
Menurutnya, setidaknya ada 3 hal yang perlu dicermati dari angka-angka itu. Selain likuiditas nasional sedang mengetat, juga mesin kredit melemah. Begitu pula instrumen kebijakan moneter pemerintah serta BI secara tidak langsung mengerem ekspansi ekonomi.
Perlambatan ini, jelas Erizeli, selaras dengan teori moneter klasik hingga kontemporer. Seperti Friedman (1956) tentang peran jumlah uang beredar, dan teori money creation perbankan modern ala Werner (2014).
Dalam teori-terori tersebut menekankan bahwa kredit bank merupakan sumber utama pertumbuhan M2. Ketika kredit tersendat, M2 pasti melambat, mirip yang dilihat sekarang ini.
1. Uang Kuasi Melemah.
Diungkapkannya, pertumbuhan uang kuasi hanya 5,5% dari tahun lalu. Hal ini jauh di bawah M1. Kondisi tersebut bukan kebetulan. Ini sesuai dengan penjelasan Barro (1979) dan model crowding out pemerintah dalam sistem pembiayaan domestik.
Di antaranya, pemerintah agresif menerbitkan SBN dan SBN ritel. BI menarik dana lewat SRBI, instrumen dengan imbal hasil menarik. Selain itu, dana masyarakat berpindah dari deposito ke instrumen berimbal hasil tinggi. Bank kehilangan basis pendanaan murah.
Ini mirip dalam penelitian Bernanke, Gertler & Gilchrist (1996), ketika biaya dana meningkat, bank akan mengerem penawaran kredit. Akibatnya money creation melambat.
2. Kredit Melemah.
Baca Juga:Konflik Keraton Solo, Ada 16 Paugeran untuk Duduki Tahta Raja Kasunanan, Jadi Ganjalan PurbayaDitunjuk Dedi Mulyadi, Helmy Yahya Batal Jadi Komisaris Bank BJB karena Ada Novum di OJK
Model ekonomi Bank of England (2014) dan kajian akademis Richard Werner (2016) menegaskan, 97 persen uang dalam perekonomian modern tercipta dari kredit bank yang baru. Maka ketika kredit tersendat, M2 otomatis melambat.
