Awas! Hutan Jabar Tinggal 20 Persen, Ancaman Bencana di Depan Mata

Hutan Jabar Tinggal 20 Persen
Kerusakan hutan di Jawa Barat kian mengkhawatirkan. Hampir 80 persen mengalami degradasi akibat aktivitas manusia dan alih fungsi lahan yang tak terkendali. Ilustrasi: Eep/Radar Cirebon
0 Komentar

Direktur Eksekutif Walhi Jawa Barat Wahyudin Iwang mengatakan penyusutan terjadi di berbagai tipe kawasan. Termasuk, lanjutnya, hutan produksi, hutan lindung, serta area kelolaan Perum Perhutani. Dia menjelaskan bahwa pembukaan lahan untuk tambang, properti, kawasan wisata, hingga proyek strategis nasional menjadi pendorong utama hilangnya area berhutan. “Banjir bandang, longsor, tanah amblas, serta fenomena bencana lainnya bukan semata-mata dipicu intensitas hujan yang tinggi,” ujar Iwang secara tertulis.

Dirinya menilai kerusakan lingkungan di Jawa Barat meluas tanpa disertai langkah pencegahan maupun pemulihan yang memadai. Pemerintah, kata dia, belum menunjukkan keseriusan dalam melindungi kawasan hutan. “Upaya pencegahan dan perbaikan lingkungan nyaris tidak dilakukan. Bahkan pemerintah terkesan turut melegitimasi kerusakan yang terus berlangsung,” ucapnya.

Walhi juga mencatat lemahnya penegakan hukum terhadap aktivitas pertambangan. Pada 2023, sebanyak 54 perusahaan tambang tetap beroperasi meski izin mereka telah habis. Sementara pada 2024, ditemukan 176 titik tambang ilegal dengan sebaran terbanyak di Sumedang, Tasikmalaya, dan Bandung. Di kawasan konservasi yang dikelola Balai Besar KSDA, penurunan status kawasan dan pembangunan fasilitas kerap berlangsung tanpa pengawasan ketat.

Baca Juga:Sinergi Tingkatkan Pengelolaan Sarpras OlahragaFormasi 2026 Terbatas, Puluhan Orang Berebut Tiket Petugas Haji

Adapun di lahan perkebunan PTPN Regional II, pola kerja sama pemanfaatan lahan dinilai menghilangkan fungsi ekologis. Alih fungsi lahan resapan air turut memperparah situasi.

Setiap tahun, sekitar 20 hektare sawah berubah menjadi permukiman, industri, atau kawasan wisata. Di sisi lain, 900 ribu hektare lahan kritis belum mendapatkan penanganan serius.

Walhi menilai mitigasi bencana masih jauh dari optimal dan pemerintah cenderung bergerak setelah bencana terjadi. “Ada bencana hingga viral, baru berbondong-bondong investigasi dan pasang muka seperti pahlawan di siang bolong,” kata Iwang.

Dia memperingatkan bahwa penyusutan tutupan hutan akan terus menambah daftar bencana ekologis jika pembenahan tidak segera dilakukan. Walhi mendesak pemerintah memperketat aktivitas di kawasan hutan dan memperkuat penegakan hukum tanpa pandang bulu.

“Mitigasi harus dijalankan dengan serius, dimulai dari pengetatan kegiatan di kawasan hutan dan area resapan air. Identifikasi wilayah rentan bencana di kabupaten dan kota perlu dilakukan sebagai dasar penyusunan kontinjensi,” ujarnya.

0 Komentar