Saya setuju Pilkada langsung itu memang mahal. Saya pernah menghitung, misalnya, untuk menang di Pilkada Kota Cirebon, pasangan calon harus memiliki setidaknya uang tunai Rp20 miliar. Uang itu, bisa untuk “membeli” suara separo dari pemilih.
Syarat Rp 20 miliar itu, sepertinya mutlak untuk menang di Pilkada Kota Cirebon. Walau pasangan calon itu terkenal, tapi jika tidak ada uang, hampir bisa dipastikan kalah.
Betul, banyak orang di Kota Cirebon yang fanatik dengan calon idola mereka. Mereka tidak mau pindah ke lain hati. Tapi mereka juga tak mau memilih idolanya karena tak ada uang. Pilihan terbaik bagi mereka adalah golput.
Baca Juga:Presiden Prabowo Minta Maaf Sebut Kondisi di Lapangan Sangat Sulit, tapi akan Diatasi BersamaWarga Cirebon dan Indramayu Akhirnya Bisa Pulang dari Aceh
Kasus di Pilkada Kota Cirebon, yang populer pun, termasuk yang unggul dalam survei, perolehan suaranya hanya sekitar tak 35 persen. Namun, dengan uang besar, walau pasangan calon kurang terkenal, bahkan tidak terkenal, suara bisa diperoleh secara maksimal.
Sebagian masyarakat kita ini memang sangat permisif dengan amplop Pilkada. Bahkan, bila ada calon yang tidak membagikan amplop, dianggap kere. Atau dinilai tidak serius mencalonkan diri.
Dari kasus ini, bisa jadi wajar jika ada pasangan calon harus meminjam uang ke bank atau ke para bohir. Mereka tahu, itulah cara cepat untuk menang. Tak ada gunanya terkenal dan populis, kalau kalah tanding. Uang tunai adalah segala-galanya dalam Pilkada langsung.
Padahal semua tahu, untuk menang dengan cara main uang itu, risikonya sangat besar. Yang pasti uang itu harus kembali. Entah bagaimana caranya. Seperti dugaan yang dilakukan dr Ardito Wijaya, Bupati Lampung Tengah yang terjaring OTT KPK itu. (*)
