Ini bagian dari rencana besar penataan Sungai Sukalila secara menyeluruh. Dari hulu. Hingga hilir. Kepala BBWS Cimanuk–Cisanggarung, Dwi Agus Kuncoro, menjelaskan bahwa Sungai Sukalila merupakan satu sistem aliran yang utuh. Tidak berdiri sendiri. Bagian hulunya berasal dari Sungai Grenjeng.
“Ke arah hulu, alirannya dari Kalitanjung, ke Cikadal, ke Cijarak, melintas Jalan Cipto, hingga masuk aliran di Jalan Ampera,” kata Dwi kepada Radar Cirebon, Senin (15/12/2025).
Dari titik tersebut, aliran sungai dikenal sebagai Sungai Sukalila. Membelah Kota Cirebon. Mengalir ke kawasan pusat kota.
Baca Juga:Gubernur Dipilih DPRD, KDM Tak Bisa Lanjut Periode Kedua?Presiden Prabowo Minta Maaf Sebut Kondisi di Lapangan Sangat Sulit, tapi akan Diatasi Bersama
Lalu bermuara ke Laut Jawa. Karena itu, penataan tidak bisa dilakukan parsial. Harus satu tarikan napas. Dari hulu hingga hilir.
Penertiban kali ini difokuskan pada sterilisasi sempadan sungai. Area yang selama bertahun-tahun ditempati bangunan liar, lapak pedagang, serta aktivitas yang tidak sesuai peruntukan ruang sungai.
Di lapangan, penertiban berlangsung relatif kondusif. Sejumlah pedagang terlihat membongkar sendiri lapak mereka.
Kayu, papan, dan seng diturunkan satu per satu. Rangka lapak dipreteli secara manual. Puing bangunan menumpuk di tepi jalan.
Di titik lain, ekskavator merobohkan sisa bangunan yang masih berdiri. Debu beterbangan. Sisa fondasi diratakan. Ruang sempadan sungai perlahan terbuka. Lebih lapang. Lebih terang.
Dwi menegaskan, sterilisasi menjadi syarat utama sebelum penataan fisik sungai dilakukan. Sungai harus dikembalikan pada fungsi dasarnya. Sebagai ruang air. Ruang lindung. Dan ruang publik.
Namun, persoalan Sungai Sukalila bukan hanya soal bangunan liar. Kawasan Sungai Sukalila hingga Sungai Kalibaru selama ini juga menyimpan stigma sosial yang kuat. Rahasia umum. Menjadi lokasi mangkal pekerja seks komersial (PSK).
Baca Juga:Warga Cirebon dan Indramayu Akhirnya Bisa Pulang dari AcehBesok! Senam Masal HUT Ke-26 Radar Cirebon Bersama Dahlan Iskan, 2 Umrah Menanti
Saat malam tiba, wajah bantaran sungai berubah. Sejumlah perempuan duduk di kursi-kursi plastik. Menghadap ke arah jalan.
Mengenakan pakaian minim. Sebagian lainnya menunggu tamu di warung-warung remang-remang yang berdiri di tepi sungai.
Aktivitas tersebut berlangsung bertahun-tahun. Tumbuh seiring maraknya bangunan liar. Minimnya penerangan. Lemahnya pengawasan. Sungai menjadi ruang gelap. Secara fisik. Juga secara sosial.
Citra itu melekat lama. Membentuk persepsi negatif kawasan. Sungai yang seharusnya menjadi ruang hidup, justru berubah menjadi ruang problem. Di malam hari, kawasan ini relatif dihindari warga.
