RADARCIREBON.ID- Dukungan terhadap wacana pemilihan kepala daerah (pilkada) melalui DPRD kembali menguat. Sejumlah partai besar, di antaranya Partai Gerindra dan Partai Golkar, menyatakan sikap setuju dengan alasan utama efisiensi anggaran dalam penyelenggaraan pemilu di tingkat daerah.
Namun, pandangan berbeda datang dari PDIP. Partai berlambang banteng itu menilai gagasan pilkada tak langsung berseberangan dengan spirit reformasi yang selama ini memperjuangkan perluasan ruang demokrasi, terutama hak warga untuk memilih pemimpinnya secara langsung.
Politisi PDIP, Guntur Romli, menegaskan bahwa partainya tetap pada sikap awal: pilkada harus dilaksanakan lewat pemilihan langsung oleh rakyat, bukan melalui DPRD. Ia menyatakan PDIP menghormati pilihan politik partai-partai lain, tetapi tidak akan mengubah pendirian terkait mekanisme pilkada.
Baca Juga:Pelaksanaan Masa Angkutan Nataru, 10 Juta Orang Bepergian dengan Angkutan UmumKemarin Sempat Macet, Arus Lalu Lintas Nataru 2025-2026 di Cirebon Terpantau Lancar
“Kami hormati sikap partai lain, tapi PDI Perjuangan tetap ingin pilkada langsung tidak melalui DPRD,” kata Guntur Romli kepada Disway (Radar Cirebon Group), Senin (29/12/2025).
Guntur juga menilai dalih penghematan anggaran tidak cukup kuat untuk dijadikan pembenaran bila dampaknya mengurangi hak politik masyarakat. Menurutnya, efisiensi seharusnya tidak diarahkan pada pemangkasan partisipasi publik dalam menentukan kepala daerah.
“Efisiensi tidak bisa dijadikan dalih untuk mengambil hak politik rakyat. Kabinet saat ini juga gemuk tidak ada efisiensi,” ujarnya. Ia menambahkan, bila pemerintah ingin berbicara soal penghematan, langkah pertama semestinya dimulai dari pembenahan internal, termasuk menekan belanja dan fasilitas elite pemerintahan, bukan justru mengubah mekanisme demokrasi yang sudah berjalan. “Harusnya efisiensi dimulai dari pemotongan fasilitas dan biaya elit-elit pemerintahan bukan dengan mengebiri hak politik rakyat,” tegasnya.
Dalam pandangannya, pilkada melalui DPRD bukan sekadar perubahan teknis, melainkan langkah yang berisiko menjadi kemunduran demokrasi. Ia menilai mekanisme tersebut dapat menyeret arah demokrasi kembali mundur, mengingatkan pada pola sebelum reformasi ketika rakyat tidak memilih kepala daerah secara langsung.
Guntur turut mempertanyakan urgensi pengguliran wacana itu saat masyarakat masih menghadapi beragam persoalan, mulai dari bencana hingga situasi sosial-ekonomi yang belum sepenuhnya pulih. Ia juga menyinggung bahwa jadwal dan kerangka pelaksanaan pilkada, bila merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi, masih mengarah ke 2031. Karena itu, ia menilai wacana ini tidak tepat dilempar sekarang dan berpotensi memicu kekecewaan publik.
