Anak Tukang Kayu yang Kini Menetap di Norwegia dengan Gaji Fantastis

Anak Tukang Kayu yang Kini Menetap di Norwegia dengan Gaji Fantastis
0 Komentar

“Lumayan bisa nabung,” imbuh pria kelahiran tahun 1988 tersebut. Dari perbincangan mereka kita jadi tahu produksi minyak di Norwegia –lebih dari sejuta barel dalam sehari. Yaitu untuk 6-7 juta penduduk saja.
Masa SMA, anak pertama dari 3 bersaudara ini cukup berprestasi. Selalu ranking kelas. “Selama 6 semester, kalau tidak ranking 1 ya ranking 2,” ucap Ibnu yang mengambil jurusan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) di Smansa itu.
Ibnu merasakan betul perubahan ketika belajar dengan sungguh-sungguh. Diakui, saat SD ia bukan kategori siswa yang rajin. Ibnu tak malu mengakui sebagai anak sekolah yang malas belajar. Di bangku sekolah dasar ia mengenyam pendidikan di SDN 2 Klangenan. Tak jauh dari rumah.
Karena nilai ujian akhir yang minim, ia tak bisa melanjutkan ke SMP favorit. “Waktu itu yang penting masuk negeri saja di SMPN 2 Klangenan yang sekarang jadi SMPN 2 Jamblang,” ungkap magister lulusan University of Stavanger, Norway, tersebut.
Ketika sadar yang dijalani tak akan mengubah ke arah lebih baik, Ibnu mulai berubah. Ia giatkan belajar untuk bisa melanjutkan ke jenjang sekolah menengah atas yang menjadi harapan banyak orang tua dan siswa di Cirebon.
“Berusaha lebih rajin, kalau SD belajar 5 menit saat SMP ya ditambah jadi 5 jam,” tutur Ibnu yang masih fasih bahasa sehari-hari Cirebon itu.
Usaha itu berbuah hasil. Nilai Ebtanas Murni (NEM) Ibnu tergolong tinggi: 42 –maksimal 50 dari 5 mata pelajaran yang diuji. Di masa itu seleksi untuk masuk sekolah negeri cukup dari NEM. Dengan nilai ujian akhir yang tinggi Ibnu bisa memilih sekolah sesuai yang diinginkan. Hingga memilih SMAN 1 Cirebon. “NEM saya 42, sedangkan di Smansa itu minimal 38, alhamdulillah lolos,” kata Ibnu, bersyukur.
Sadar saingan antarsiswa di Kota Cirebon begitu ketat, Ibnu semakin menggiatkan belajar. Meski ia juga masih ingat betul hasil ujian pertama Fisika yang memperoleh nilai kecil. “Ulangan Fisika pertama saya dapat 36 dari 100, berarti kan di bawah banget,” terang pria yang murah senyum ini.
Nilai yang jelek cukup dijadikan pembelajaran. Buktinya, Ibnu berhasil ranking 1 saat semester pertama di Smansa. Sudah 3 tahun Ibnu tak pulang ke Cirebon. Karena pandemi Covid-19 yang melanda dunia. Biasanya, satu atau dua tahun sekali ia sempatkan ke Indonesia. Bertemu kedua orang tua. Dilakukan saat libur musim panas –antara Juni, Juli dan Agustus.

0 Komentar