Keraton Kaprabonan Cirebon Melintasi Zaman (1)

Keraton Kaprabonan Cirebon Melintasi Zaman (1)
Pangeran Hempi Raja Kaprabonan (kiri) menunjukan kitab-kitab ajaran Islam peninggalan dan pemberian dari Syekh Syarif Hidayatullah. Foto: Khoirul Anwarudin/Radar Cirebon
0 Komentar

Di antara keraton-keraton di Kota Cirebon, barangkali Kaprabonan menjadi yang paling dilupakan. Meski di kalangan masyarakat masih terjadi pro-kontra tentang apakah Kaprabonan layak disebut keraton atau tidak, tetapi keberadaannya telah melintasi zaman dan turut menjadi saksi atas perjalanan sejarah Cirebon.

KHOIRUL ANWARUDIN, Cirebon
KETUA Tim Pustaka Keraton Kaprabonan, Hamja mengatakan, selama ini banyak yang memahami keraton sebagai pusat kekuasaan. Padahal, setelah melebur sebagai bagian dari republik Indonesia, keraton telah menjelma menjadi pusat kegiatan budaya. Bukan lagi sebagai pusat pemerintahan.
Syarat-syarat dikatakan keraton, lanjut Hamja, telah dipenuhi oleh Kaprabonan. Kaprabonan, lanjutnya, selama ini memiliki sejarah dalam perjalanan Cirebon. Dari sisi bangunan, Kaprabonan memiliki ciri khas tersendiri bila dibandingkan dengan tiga keraton lain yang ada di Kota Cirebon.
“Peninggalannya jelas. Selain itu, Keraton Kaprabonan juga mempunyai wargi atau masyarakat keraton yang selama ini tercatat secara resmi. Kaprabonan juga mempunyai nilai historis yang cukup panjang,” jelasnya.
Kaprabonan sendiri mulai dibangun pada sekitar tahun 1696. Adanya Keraton Kaprabonan, tak lepas dari perselisihan internal di tubuh Keraton Kanoman yang saat itu dipimpin Sultan Kanoman I Muhammad Badrudin Kartawijaya.
Sultan Badrudin memiliki dua orang putera dari permaisuri yang berbeda, yakni Pangeran Adipati Kaprabon yang merupakan putera pertama dari permaisuri kedua yaitu Ratu Sultan Panengah. Sedangkan putera kedua adalah Pangeran Raja Mandurareja Muhammad Qadirudin, terlahir dari permaisuri ketiga yang bernama Nyimas Ibu.
Setelah Sultan Badrudin wafat, kepangkatan sultan jatuh pada anak pertama dari permaisuri isteri kedua yaitu Ratu Sultan Panengah, yang bernama Pangeran Raja Adipati Kaprabon. Namun, karena saat itu PRA Kaprabon tengah menggandrungi ajaran agama Islam sampai berkelana ke mana-mana, takhta Keraton Kanoman pun diserahkan kepada Pangeran Raja Mandureja Muhammad Qodirudin dan dinobatkan sebagai Sultan Anom II.
PRA Kaprabon saat itu memilih meninggalkan Keraton Kanoman karena berseberangan dengan kerabatnya di Keraton Kanoman. Ia akhirnya pindah dan menetap di sebuah tempat yang berada di sisi timur alun-alun Kanoman, yang kini diberi nama Kaprabonan.

0 Komentar