Dalam lanskap politik elektoral demikian, daerah membutuhkan banyak intelektual organik terlibat dalam ruang publik politik elektoral. Ini untuk dapat mempercepat perubahan budaya politik elektoral agar demokrasi terkonsolidasi dengan baik. Oleh karena itu, pertanyaan berikut yang layak diajukan di ruang publik politik elektoral adalah: apakah mereka yang berpendidikan tinggi, cendekiawan, tokoh agama, aktivis gerakan, jurnalis berpengalaman, dan lain sebagainya layak disebut intelektual organik?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut tentunya membutuhkan riset ilmiah. Tapi marilah jadikan pertanyaan tersebut sebagai pemantik refleksi bagi kita semua yang menginginkan demokrasi terkonsolidasi dengan baik. Bagi siapa pun yang memiliki idealisme demokrasi, pasti mereka akan mau terlibat dalam gerakan perubahan budaya politik elektoral dengan cara mencerdaskan pemilih. Siapa pun yang memosisikan diri sebagai penjaga moralitas politik, mereka bisa dikatakan sebagai intelektual organik. Siapa pun mereka yang memiliki idealisme politik dan memperjuangakannya, mereka adalah intelektual organik.
Turunlah
dari Menara Gading
Mereka yang mengaku intelektual, tetapi tidak mau menjadi intelektual organik –merujuk istilah Julien Benda (1928/1969:43), mereka adalah ivory-towered thinkers (pemikir yang berada di menara gading).
Baca Juga:Kinerja Jaksa Agung DikritikTiga Menteri Diserang Hoax Isu Positif Covid-19 Kembali Dibantah
Mereka asyik dengan pemikirannya yang melangit. Mereka tidak mau terlibat dalam gerakan perubahan sosial-politik di ruang publik. Mereka tidak memiliki keberanian secara terbuka untuk melawan kekuatan politik yang sekiranya dapat merusak demokrasi itu sendiri. Mereka tidak mau terlibat langsung dalam gerakan mencerdaskan atau mendaulatkan pemilih. Mereka bukanlah the democracy advocate (pembela demokrasi).
Mereka jauh dari karakteristik intelektual sejati (the real intellectual). Bagi Julien Benda, intelektual sejati adalah orang memiliki kepribadian yang kuat, siap menanggung risiko, pantang menyerah atas masalah praktis (practical concerns), dan memiliki keberanian untuk menjadi oposisi permanen terhadap status quo (Said, 1996:7).
Saat ini, intelektual tersebut masih belum tepat jika disebut pengkhianat intelektual (the traitors of intellectual). Karena masih terbuka peluang partisipasi politik mereka di ruang publik elektoral, kecuali tahapan elektoral Pilkada telah usai. Masih ada kesempatan besar bagi mereka untuk bertransformasi diri menjadi intelektual organik. Oleh karena itu, mari kita taruh harapan besar kita terhadap perguruan tinggi daerah sebagai tempat tinggal (home) dan pembiakan (breeding) intelektual untuk memelopori menghadirkan atmosfer politik demokrasi elektoral lokal yang lebih baik.