Setiap pengantaran dikenakan biaya Rp5 ribu untuk Kota Cirebon, atau ke wilayah perbatasan dikenakan biaya Rp6 ribu. Tapi, selama masa-masa awal pembukaan layanan jastip ini dikenakan gratis ongkos kirim. Untuk margin keuntungannya, dia mengambil hanya Rp1.000 per satuan harga eceran barang dagangan pasar.
BUKAN TANPA RISIKO
Menjalankan bisnis bermodal kepercayaan dari jarak jauh ini bukannya tanpa risiko. Desy mengaku baru satu minggu membuka bisnis jastip belanja pasar ini, sudah pernah tertipu satu kali.
“Pernah ada pesanan minta diantar ke pemesan. Sesudah sampai, si pemesan ngakunya lagi di bank di daerah gunungsari dan mau transfer. Tapi ditunggu sampai sekarang belum masuk juga. Tapi, ya risikonya memang begini, nilainya lumayan Rp200-300 ribuan. Semoga yang mesan tadi itu disadarkan pikirannya,” kata dia.
Nanda yang menjadi pelaksana di lapangan dari bisnis jastip belanja di pasar ini mengaku pesanan yang masuk sudah mulai ramai dan stabil. Awalnya, hanya ada 3-5 pemesan per hari, tapi beberapa hari ini sudah ada 15-20 pemesan per hari. Bahkan, saat ini untuk memenuhi target pengiriman ke pemesan, Nanda dibantu oleh seorang temannya.
“Setiap pagi, saya dan ibu ke pasar buat belanja pesanan, di-packing per pemesan dan langsung diantar. Jam 9 pagi semua pesanan sudah selesai dikirim. Yang pesan rata-rata di wilayah Kota Cirebon, yang paling jauh ada yang ke Tangkil, Mundu, dan Penggung,” ungkapnya.
Meski skalanya masih sangat terbatas, namun setidaknya jasa seperti Pasare Kita mampu menjawab kebutuhan masyarakat. Terutama selama pemerintah memberlakukan physical dan social distancing. Tidak menutup kemungkinan, ini bakal menjadi cara berbelanja baru di pasar tradisional. (*)