JAKARTA – Keputusan DPR dan pemerintah mencabut Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020 disesalkan banyak kalangan. Wakil rakyat dinilai gagal memahami prioritas nasional dan tidak sensitif terhadap perlindungan korban.
“Dikeluarkannya RUU PKS dari Prolegnas menunjukkan betapa wakil rakyat tidak sensitif terhadap isu perlindungan korban. Mereka telah gagal memahami kebutuhan rakyat. Terutama kaum perempuan,” ujar Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid di Jakarta, Sabtu (4/7).
Menurutnya, perlindungan hukum bagi penyintas kekerasan seksual sangatlah mendesak. Sebab banyak korban yang enggan bersuara atau merasa diintimidasi oleh pelaku. “RUU PKS ini sebenarnya bisa memberi jaminan kepada mereka untuk tidak ragu lagi menyeret pelaku, siapa pun dia ke jalur hukum,” tegas Hamid.
Dikatakan, rumusan definisi kekerasan seksual dalam peraturan perundang-undangan masih memuat banyak celah. Hal ini mendorong terjadinya kebebasan dari hukuman bagi pelaku kekerasan seksual. “Apalago jika melihat catatan Komisi Nasional (Komnas) Perempuan selama 12 tahun belakangan ini,” imbuhnya.
Komnas Perempuan menyebut, kekerasan terhadap perempuan di Indonesia meningkat hampir delapan kali lipat. “Bahkan, pengaduan kasus kejahatan di dunia maya pada tahun 2019, yang paling banyak adalah ancaman dan intimidasi penyebaran foto dan video porno. Jumlahnya mencapai 281 kasus, atau naik 300 persen dari tahun sebelumnya,” ucap Hamid.
Karena itu, RUU PKS menjadi sangat prioritas untuk segera disahkan. Bukan malah dikeluarkan dari daftar Prolegnas 2020. “Kami mendesak anggota dewan mengembalikan RUU ini masuk dalam Prolegnas,” urainya.
Seperti diketahui, pada 2 Juli 2020 lalu, rapat kerja Baleg DPR dengan Menkumham serta Panitia Perancang Undang-Undang DPD menyepakati adanya perubahan terhadap Prolegnas RUU Prioritas Tahun 2020. Salah satu dari 16 RUU yang dihapus adalah RUU PKS.
RUU tersebut telah menempuh jalan panjang sejak diinisiasi oleh Komnas Perempuan pada tahun 2012. Bahkan sempat masuk Prolegnas Prioritas 2016. Namun, hingga kini nasib RUU itu tidak jelas.
Pada bulan Maret 2020 lalu, Komnas Perempuan merilis catatan tahunan tentang kekerasan terhadap perempuan. Terdapat 431.471 kasus kekerasan terhadap perempuan selama 2019.
Wakil Rakyat Gagal Paham
