NASI Kasreng awalnya hanyalah menu sarapan yang dijajakan seorang warga Luragung Tonggoh bernama Kasri di bawah pohon beringin Alun-alun Luragung sekitar tahun 1970-an.
Para penikmatnya pun hanyalah para sopir bus Luragung dan kondekturnya serta calon penumpang yang akan berangkat ke Jakarta dan para pedagang di Pasar Luragung.
Lauknya pun sangat sederhana hanya gorengan hangat, telur dadar atau ceplok ditambah sambal dengan pelengkap udang rebon dan lalapan kecambah mentah, daun singkong.
“Yang pertama memberi nama Kasreng adalah sopir bus Luragung bernama Pa Sartim. Kalau makan di tempat ibu saya menyebutnya Kasreng, gabungan nama Kasri dan gorengan jadi Kasreng. Mungkin untuk memudahkan pemanggilan,” ungkap Darman (57), salah satu anak Ibu Kasri saat berbincang dengan Radar di rumahnya Desa Luragung Tonggoh belum lama ini.
Darman menceritakan, awal mula ibunya berjualan Nasi Kasreng sekitar tahun 1970-an saat dirinya belum lahir hingga tahun 1990-an. Sempat digantikan oleh istri Darman, Acah Kasah (54), tempat berjualan Nasi Kasreng pun berpindah ke Pasar Luragung dan beberapa perubahan tampilan dan menu.
“Ibu mulai berjualan di Alun-alun Luragung sejak pukul tiga dini hari sampai jam tujuh pagi, nasi dan semua menu masakan sudah habis,” ungkap Darman.
Ditambahkan Acah, di zaman itu menu nasi kasreng masih sangat sederhana yaitu gorengan bala-bala, kentang dibalut tepung dan tempe ditambah sambal dan lalapan. Yang paling mewah, kata Acah, paling-paling telur dadar dan ceplok dengan harga yang sangat murah meriah. Dengan uang Rp 500 saja, bisa makan nasi kasreng dengan menu paling lengkap dan mengenyangkan.
“Waktu masih awal jualan, nasi dibungkus pakai daun jati, kemudian karena mulai jarang jadi diganti daun pisang. Tahun 90-an ibu sudah berhenti berjualan, kemudian dilanjutkan oleh saya. Gorengansaya pindahkan ke warung supaya bisa dimakan hangat oleh pelanggan. Tapi ciri khas sambal, goreng kentang, rebon dan lalapan masih saya pertahankan sesuai resep yang diajarkan Ibu,”ungkap Acah.