CIREBON – Kisruh perebutan takhta Keraton Kasepuhan Cirebon, kembali memanas. Rahardjo Djali yang merupakan keturunan Sultan Sepuh XI kembali mengusik kuasa kesultanan saat ini yang masih dipegang putera mahkota, PRA Luqman Zulkaedin. Pada Kamis (6/8) lalu, dia dikukuhkan sebagai polmak atau pejabat sementara pengganti sultan.
Putra mahkota Keraton Kasepuhan Cirebon, PRA Luqman Zulkaedin menyatakan, bahwa pengukuhan tersebut tidak sah karena dianggap menciderai tradisi keraton yang berjalan ratusan tahun.
Sebaliknya, Rahardjo menuding, kalau penunjukan Luqman sebagai putera mahkota telah menyalahi aturan dan adat istiadat keraton. Rahardjo menyebut, almarhum Sultan Arief maupun Putra Mahkota PRA Luqman Zulkaedin tidak memiliki garis keturunan yang sah dari Sultan Sepuh XI Radja Jamaludin Aluda Tajul Arifin, Sultan Kasepuhan Cirebon ke-11.
Terkait hal itu, sejarawan Cirebon sekaligus ahli filolog, Raffan S Hasyim mengatakan, polemik yang terjadi di dalam internal keluarga Keraton Kasepuhan, sudah berlangsung sejak zaman dahulu kala. Penolakan dan saling tuding, siapa yang paling berhak memimpin keraton, bahkan terjadi sejak pemerintah VOC mulai menginvasi Cirebon.
Menurutnya, polemik terkait siapa yang berhak menjadi sultan, dimulai sejak terbunuhnya Sultan Sepuh V Sjaifudin Matangaji pada 1786. Sultan Sepuh V yang tidak setuju dengan Belanda, terbunuh setelah diperdaya pihak Belanda yang sebelumnya mengajak Sultan Sepuh V berunding.
Sultan Matangaji lalu dieksekusi oleh Ki Muda, yang merupakan paman Sultan Matangaji dari garis ibu yang berasal dari Talaga. Setelah sebelumnya pihak Belanda tak berhasil membunuh dengan cara ditembak. Oleh pemerintah Belanda ketika itu, Ki Muda lantas diangkat sebagai polmak.
Opan begitu Raffan akrab disapa menjelaskan, takhta Sultan Keraton Kasepuhan Cirebon seharusnya diberikan kepada saudara Sultan Matangaji, yaitu Pangeran Surya Negara. “Akhirnya dia yang menggantikan jadi polmak. Di situ ada pelanggaran. Harusnya kan polmah setelah wafat dikembalikan,” jelasnya.
Masih disampaikan Opan, polemik perebutan takhta di keraton sudah terjadi sejak dulu. Hal itu disebabkan karena ada campur tangan dari pemerintah Hindia Belanda.
“Penolakan-penolakan ini biasa. Sultan sekarang ini bukan sultan pemangku politik. Tapi pemangku adat, dari tahun 1813. Memelihara adat, tradisi. Zamannya Rafles, Sultan hanya sebagai pemangku adat,” tandasnya.