CIREBON – Pasca wafatnya Sultan Sepuh VIX PRA Arief Natadiningrat, desakan untuk meluruskan sejarah Keraton Kasepuhan semakin mengemuka. Banyak pihak yang berbicara sejarah sesuai dengan versinya masing-masing.
Tak pelak, masyarakat pun ikut gaduh. Lantaran membawa bawa tokoh yang begitu dihormati, yakni Syekh Syarif Hidayatullah alias Sunan Gunung Jati.
Budayawan, Akhbarudin Sucipto mengatakan, kegaduhan yang terjadi saat ini menjadi puncak dari simpang siur sejarah yang terjadi selama ini. Penyebabnya, tak banyak referensi dan catatan sejarah yang ada. “Kebanyakan hanya sejare jare atau katanya katanya,” ujar Akhbarudin, kepada Radar Cirebon, Rabu (13/8).
Selain itu, pengungkapan sejarah juga terkendala oleh sikap ewuh pakewuh karena menyangkut cerita aib yang mungkin tidak akan diterima oleh pihak tertentu. “Memang salah satu sikap masyarakat Cirebon adalah ewu pakewuh. Tahu bahwa itu adalah rahasia, namun bukan untuk konsumsi publik. Jadi merasa tidak mau terlalu ikut campur terlalu dalam karena menghormati privasi orang lain,” ungkapnya.
Namun demikian, di tengah semakin terbukanya informasi publik, kebenaran sejarah juga perlu diluruskan. Hanya saja diperlukan bukti-bukti yang kuat dan otentik. Jangan sampai mengacu pada katanya, tetapi digunakan sebagai dasar untuk pembenaran. Sebab, hal tersebut hanya akan membuat perseteruan semakin tajam.
Saat ini, kata Akhbar, merupakan momen yang tepat untuk merekonstruksi Sejarah Cirebon yang sebenarnya. Tanpa harus membuat keraton menjadi terpecah belah.
Selain itu, polemik yang terjadi saat ini juga merupakan konsekuensi dari pilihan para bangsawan keraton pasca mangkatnya Sultan Sepuh V, Pangeran Shofiudin Matangaji. Di mana setelah pemerintah VOC belanda mengkooptasi keraton, banyak keluarga inti keraton yang menyingkir dari keraton dan memilih untuk mengembangkan masyarakat sesuai dengan kemampuanya.
Seperti dengan mendirikan peguron, mengembangkan kesenian hingga intens melakukan perlawanan terhadap VOC.
“Masalahnya yang ada kan kebanyakan sumbernya masih sejare jare. Maka dari itu diperlukan musyawarah dari masing-masing pihak. Mereka juga bisa saling sabar dan menahan diri untuk merumuskan bagaimana yang baiknya,” ungkapnya.
Di lain pihak, polemik klaim atas takhta kekuasaan di Keraton Kasepuhan terus melebar. Usai mendapat tanggapan dari keluarga besar Mertasinga yang merupakan keturunan dari Sultan Kasepuhan IV Sultan RajaTajul Asyikin Amirzena Muhammad Zaenuddin yang mengaku akan bersikap netral. Kini muncul lagi sosok lain yakni, Pangeran Kuda Putih alias Raden Heru Rusyamsyu Arianatareja.