Ia pun menantang pihak PRA Luqman untuk bertemu dan membedah sejarah serta silsilah Keraton Kasepuhan.
” Jadi dari pada debat kusir sepertt ini, mending kita duduk ngopi dan bicara sambil bedah sejarah dan silsilah. Undang para ulama dan pini sepuh. Lalu undang seluruh wargi dan masyarakat. Disaksikan oleh awak media. Berani ndak?” tantangnya.BUKAN HAL BARU
Terkait dengan perselisihan yang mencuat di Keraton Kasepuhan, Filolog Cirebon Raffan S Hasyim mengatakan, polemik yang terjadi di dalam internal keluarga Keraton Kasepuhan sudah berlangsung sejak dulu kala. Penolakan dan saling tuding akan siapa yang yang berhak memimpin keraton bahkan terjadi sejak pemerintah VOC mulai menginvasi Cirebon.
Menurutnya, polemik terkait dengan siapa yang berhak menjadi sultan dimulai sejak terbunuhnya Sultan Sepuh V Sjaifudin Matangaji pada 1786. Sultan Sepuh V yang tidak setuju dengan Belanda terbunuh setelah diperdaya pihak belanda yang sebelumnya mengajak Sultan Sepuh VÂ berunding.
Sultan Matangaji lalu dieksekusi oleh Ki Muda, yang merupakan paman Sultan Matangaji dari garis ibu yang berasal dari Talaga. Setelah sebelumnya pihak Belanda tak berhasil membunuh dengan cara ditembak. Oleh pemerintah Belanda ketika itu, Ki Muda lantas diangkat sebagai polmak.
Opan menjelaskan, takhta Sultan Keraton Kasepuhan Cirebon seharusnya diberikan kepada saudara Sultan Matangaji, yaitu Pangeran Surya Negara. “Akhirnya dia yang menggantikan jadi polmak. Di situ ada pelanggaran. Harusnya kan polmah setelah wafat dikembalikan,” jelasnya dalam Webinar yang digelar oleh ISNU Kabupaten Cirebon, sabtu (16/8) tadi malam.
Masih disampaikan Opan, polemik perebutan takhta di keraton sudah terjadi sejak dulu. Hal itu disebabkan karena ada campur tangan dari pemerintah Hindia Belanda. Fase di mana Sultan Cirebon tak lagi dipimpin oleh trah Sunan Gunung Jati ini sering disebut sejarah peteng.
“Penolakan-penolakan ini biasa. Sultan sekarang ini bukan sultan pemangku politik. Tapi pemangku adat, dari tahun 1813. Memelihara adat, tradisi. Zamannya Rafles sultan hanya sebagai pemangku adat,” tandasnya.
Setelah itu, Kesultanan Kasepuhan kembali mengalami fase sejarah peteng yang kedua. Di mana saat Sultan Sepuh XI, Sultan Jamaludin Tajul Arifin mangkat. Ia tak memiliki anak laki laki. Namun, takhta Sultan Kasepuhan justru diberikan kepada Alexander anak Nyi Inah atau Siti Aminah yang merupakan anak dari seorang orientalis Belanda, Snouck Hurgronje.