CIREBON – Kisruh perebutan takhta Keraton Kasepuhan Cirebon terus bergulir. Sejumlah pihak menolak penobatan PRA Luqman Zulkaedin sebagai Sultan Sepuh XV.
Jika tak segera diselesaikan, kondisi ini dikhawatirkan akan membuat kota Cirebon semakin gaduh. Marwah dan eksistensi keraton juga akan terganggu.
KH Abdul Hayi Imam, salah seorang kiai di Pondok Pesantren Gedongan mengatakan, ishlah dengan cara yang baik dan santun dari masing-masing pihak harusnya dikedepankan.
Keraton, kata kata dia, seyogyanya merupakan sistem integral yang memangku amanat dari wasiat Syekh Syarif Hidayatullah.
“Berangkat dari wasiat Syekh Syarif Hidayatullah “Ingsun titip Tajug lan Fakir Miskin”. Artinya Marwah Kraton harus mengutamakan nilai-nilai religiusitas (Islam), tanpa menyampingkan adat istiadat, budaya, dan tradisi sosial istana sentries,” ungkapnya.
Sehingga, sebagai pemangku amanat kedudukan Sultan seharusnya diserahkan kepada sistem musyawarah dan juga islah. Tidak bisa lagi membiarkan kebijakan pribadi seperti seseorang ayah yang menyerahkan kedududkan sultan kepada putranya. Tanpa ada pertimbangan dari para kiai dan ulama di pesantren sebagai pewaris langsung yang memilki nasab kepada Sunan Gunung Jati.
Ia pun merasa prihatin dengan marwah Islam di keraton yang mulai terkikis. Hingga menyebabkan kepercayaan masyarakat mengalami perubahan.
Keraton, menurutnya seakan akan hanya menjadi simbol kekuasaan semata. Padahal, kekuasaan dalam keraton merupakan amanat tak terpisahkan daripada wasiat Sunan Gunung Jati untuk mensyiarkan agama islam.
“Di sinilah menjadi keharusan sinergisitas Ulama jangan dilihat sebelah mata. Selama ini, hal hal tersebut terkesan diabaikan. Maka Pesantren harus menyudahi kisruh tersebut dengan memberikan solusi ishlah pelurusan kebenaran sejarah Nasab Syekh Syarif Hidayatullah yang memberikan kunci amanat,” pungkasnya. (awr)